Pages

Selasa, 08 Juni 2021

Resensi Novel Someday karya Winna Efendi

 


--photo n review credited to @sherenal


Judul: Someday

Pengarang: Winna Efendi

Penerbit: Gagasmedia

Cetakan ke: 1

Tahun terbit: 2017

Tebal buku: 400 hal.

Genre: Fiksi remaja

 


“Kita akan memiliki versi-versi diri yang berbeda saat bersama orang-orang yang berbeda pula. Tapi, hanya dengan orang yang tepatlah kita akan menjadi versi yang terbaik dari diri kita sendiri.”-hal 355

 

Karya Winna Efendi sudah banyak yang diterbitkan, dan aku jatuh cinta dengan setiap karyanya. Dari Happily Ever After, kemudian Someday (yang ada sedikit hubungannya dengan kisah Happily Ever After). Membaca buku Someday untuk kedua kalinya membuatku menemukan hal-hal yang belum tercerna baik, dan menyadari alasan mengapa aku bisa memfavoritkan novel ini di antara novel lainnya. Ceritanya serupa dongeng yang nyata, mengalir, dan selalu punya amanat baik kepada pembacanya.

 

Dalam novel Someday menggunakan sudut pandang orang pertama. Setiap partnya pasti ada istilah dan arti dalam Bahasa Inggris. Alur ceritanya maju dan sama sekali tidak buru-buru. Winna Efendi melakukan “show” not “tell” dengan sangat baik sehingga tokoh dan kisah di dalamnya jelas seperti nyata terjadi. Halaman yang menyentuh 400 ini tidak berat dan tidak ringan, sehingga cukup menyenangkan dibaca mengetahui kasus ceritanya yang pelik.

 

Walaupun ini novel remaja, aku tidak merasa seperti novel wattpad yang terlampau bucin, tetapi justru berisi. Terkadang gemas dengan tokoh Art yang egois nan toxic dan nelangsa sendiri terhadap apa yang dirasakan Chris. Bukannya menghakimi, aku seperti merasa yang dialami Chris sangat berat, saat tak ada satupun orang yang bisa menyelamatkannya dari kehampaan, kegelapan.

 

Ini adalah kisah Chris yang suka berenang. Ia mempunyai sahabat bernama Milo (satu klub) yang sudah bersamanya sejak kecil. Chris yang tomboi dan selalu kena remedial, sedangkan Milo yang popular, pintar, dan tak mudah menyerah. Satu detik bagi Milo bisa membuatnya menang. Kemudian Art datang, hanya ingin melihat pertandingan Rita di SMA Harapan—justru fokus dengan Chris. Puisi Sapardi Djoko Damono, toko barang antik, hadiah, dan mimpi masa depan membuat Chris yang tak percaya dengan cinta mulai berdebar jika bersama Art. Di lain sisi, Milo berpacaran dengan Mel. Keluarga Chris yang berantakan, adiknya yang punya masalah perkembangan, dan Chris yang kena korban fisik Art, menjauhkannya dari dirinya yang dulu. Suka menangis, membohongi banyak orang bahwa dia baik-baik saja, tidak punya tempat untuk bercerita, menjadikan mimpinya tak lagi ada. Ia sendiri takut melihat dirinya sendiri.

 

“Hanya karena seseorang telah melukaimu, bukan berarti kamu juga harus melukai dirimu sendiri”-hal 355


Dalam novel ini, aku bisa merasakan diri Chris, perasaanya, hal di sekitarnya, yang membuatku sama sesaknya. Kejadian ia yang hanya melihati kolam renang dan melihat teman-temannya yang dulu dia ada di sana, membuatku ngilu. Hobi klub renang yang makan pizza di Sixties, kemudian membeli barang lebih dari 400.000 serupa mengeluarkan uang tanpa pikir panjang membuatku merasakan kehidupan aesthetic orang kaya yang menjadikan novel ini mirip kisah/film di luar negeri. Kegiatan menyenangkan dan jati diri Chris mengingatkanku untuk punya hal serupa layaknya hari produktif. Amanatnya banyak sekali. Cover buku yang mencerminkan isinya, dan isinya yang berkualitas membuat novel ini sempurna.

 

Hanya kutemukan typo satu huruf, kemudian aku menyayangkan bagian awal cerita ini yang sedikit membosankan karena mungkin awalan penjelasnya panjang, tetapi membantu menerangkan/memperjelas ketika sampai di konflik atau pertengahan.

 

Di lain itu, novel ini bagus untuk dibaca semua kalangan umur. Novel ini juga bagus karena menyinggung mental illness, perasaan kacau—kecemasan, yang menuntun pembaca sama-sama menemukan solusi.

 


0 komentar:

Posting Komentar