Pages

Senin, 21 September 2020

Resensi Novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata

 Resensi Novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata

resensi & photo credit by @sherenal





Judul: Sirkus Pohon

Pengarang: Andrea Hirata

Penerbit: Bentang Pustaka

Cetakan ke: 1

Tahun terbit: Agustus 2017

Tebal buku: 410 hal.

Genre: Fiksi umum

 

 “Dan tak ada yang lebih menyenangkan daripada berdekatan dengan orang-orang yang punya mimpi besar” -hal 71

 

Dua buku yang kupunya karya Andrea Hirata, Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas, yang mana di novel kali ini baru kusadari bahwa karya Andrea Hirata bukan sepenuhnya berat dan susah dipahami. Justru logat yang khas ini membuat cerita lebih estetis dan memang sudah sepatutnya mendapat penghargaan hingga jadi penulis terbaik se-Asia Tenggara.

 

Andrea Hirata sendiri menyelipkan bahasa melayu sebagai pengenalan budaya. Kata-kata yang digunakan kurasa langsung dari pembawaannya sepenuhnya, seperti pada umumnya “bertemu”, maka ia menuliskan “berjumpa”. Kata “oke”, jadi “ojeh.” Jika dipikir-pikir, pengulangan atau kebebasan pengungkapan Andrea Hirata yang bukan terkesan keterangan singkat punya kesan unik. Tidak ditemukan salah ketik, bahkan 5 bab yang terdiri dari 87 part membuat pembaca dapat masuk ke kalangan rakyat itu sendiri. Menemukan kilas-balik rakyat yang wilayah nun jauh di sana.

 

Ada beberapa tokoh utama yang menjadi sub poin berkaitan. Tentang Sobrinuddin panggilannya Hob si pekerja keras yang tak punya kerja tetap karena belum lulus SMP saja sudah dikeluarkan sebab sahabatnya Taripol. Tara juga Tegar yang saling terbayang sejak bertemu di pengadilan agama, taman bermain. Masalahnya kompleks, hubungannya dengan sirkus, si Hob punya kerja tetap jadi badut dan ingin menikahi Dinda (si penyuka delima), dan Tara beserta Tegar yang menemukan satu sama lain dengan cara masing-masing, entah 120 lukisan Tara untuk “Si Pembela” dan Tegar jadi mencari-cari gadis bau vanili. Hingga sirkus bangkrut tiba-tiba, Dinda yang hilang ingatan kata dukun karena delima nan akan meninggal, dan Tegar pula Tara yang berusaha realistis karena tidak pernah berjumpa satu sama lain hingga usia-nya 17 tahun.

 

Novel ini mengagumkan, bisa dibaca berulang kali karena kosakatanya yang sulit ditemukan di karangan penulis lainnya. Kisahnya anti-mainstream, kesederhanaan yang dibawa Andrea Hirata pada novel ini justru membawa khas sendiri sebagai rakyat Indonesia. Mulai dari kelumrahan dalam berita buruk/baik, Sifat pasrah, bodoh, atau kemenangan realistis masyarakat di sana, maupun dukun yang dianggap berpengaruh. Sesuatu yang menegangkan jika kesulitan pemahaman bahasa bisa dihindari. Sirkus pohon menceritakan lika-liku masyarakat yang tak ubahnya manusia penuh masalah.

 

“Bangun pagi, let’s go!”-Hob

 

Rating: 4.2 /5


Resensi Novel Recalling The Memory karya Sheva

Resensi Novel Recalling The Memory karya Sheva

resensi & photo credit by @sherenal



Judul: Recalling the Memory

Pengarang: Sheva

Penerbit: Penerbit Bental Belia (PT Bentang Pustaka)

Cetakan ke: 1

Tahun terbit: 2017

Tebal buku: 264 hal.

Genre: Teenfiksi

 

 “Setiap orang beda-beda, Sof. Kalau lo bilang gue tuts putih, lo tuts hitam, atau gue Midas dan lainnya itu, lo nggak akan lihat diri lo sendiri sebenarnya kayak apa. Lo hanya melihat ke gue dan yang lain, tapi tidak ke diri lo.” Romi, hal 100.

 

Awal beli buku ini karena tahun 2019 marak banget series belia writing marathon di wattpad. Series terbarunya saat itu juga aku ikut ngevote. Tapi, karena penasaran dan belum punya buku series apa pun karena kupikir bisa dibaca online, akhirnya beli juga. Sheva sendiri sebagai penulis sudah menerbitkan dua buku sebelumnya, yang salah satunya berjudul Memorabilia dan beberapa kejadian lumayan nyambung dengan cerita ini.

 

Dalam penyampaiannya, banyak banget narasi dibandingkan percakapannya. Penjelasannya didasarkan tahun yang mana ketahuan bahwa novel ini akan ada lintas waktu dari flashback yang cukup jauh, yaitu 8 tahun dari 2008. Aku seperti menemukan diri sendiri karena keperfeksionisan penulis spontan memberikan rasa de javu.

 

Aku ngebaca ini lumayan netral dan nyicil se-part satu hari dulu saat kelas 11 masa saat baca novel diam-diam ke kelas, sampai sharing ke teman. Yang paling mencolok adalah motivasi untuk selalu just do it. Adapula tentang pilihan yang kita tidak suka tapi harus dipilih, akhirnya akan jatuh ke keterpaksaan akan minat yang membuat semua jadi tidak begitu menyenangkan.

 

Ini tentang Sofia yang suka bermain piano di sekolah dan akhirnya bertemu dengan seorang Romi. Ayahnya ingin Sofia meneruskan firma hukumnya dan fokus les bahasa Belanda, bukan piano. Romi dan Sofia akan mendaftarkan diri dalam beasiswa eklusif four hands ke Juilliard, NYC. Mereka latihan bersama setiap pagi, sampai punya lika-liku tentang pacar Romi (Kikan) yang ketahuan bersama laki-laki lain. Lalu permasalahan muncul lagi ketika ayah Sofia jatuh sakit-sakitan serta piano di rumahnya yang dibuang, membuat Sofia harus memilih antara jurusan hukum di Belanda atau beasiswa piano bersama Romi yang dia sukai.

 

Bagusnya buku ini adalah pengetahuan tentang lagu-lagu piano. Istilah di buku ini juga bukan asal sebut, tetapi ada riset juga. “Great minds think alike” karena sepatu converse mereka yang samaan terus, intinya sesuatu yang logis dan berkelas. Herannya tiga kali di bagian terakhir aku lumayan sedih, dan tentu saja ada plot twistnya. Kekurangannya hanya sedikit membosankan jika dibaca sepenggal-penggal apalagi pas dibaca di kelas dulu campur aduk sama materi pelajaran. Baca momen terakhir yang tertunda di rumah jadi penutup buku Recalling the Memori paling baik.

 

I highly recommended buat yang suka sama hal berbau piano, kalian pasti auto connect. Untuk anak SMP atau SMA yang pusing milih kesukaan, kerumitan yang ada di dalamnya juga relate. Siap-siap catatan untuk mencatat motivasi yang munculnya bisa belasan kali atau lebih. Buku ini indah walau bukan tentang kerajaan, but that’s that I could expose.

 

Rate: 4/5