Pages

Jumat, 03 April 2020

Resensi Novel Falling Into Place




Judul: Falling Into Place
Pengarang: Amy Zhang
Hak terjemahan: POP
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit: 2016
Cetakan: pertama
Tebal buku: 327 halaman

Falling Into Place adalah karya pertama Amy Zhang. Amy Zhang sendiri merupakan penulis dari Tiongkok yang punya hobi bermain piano. Karya yang berjudul Falling Into Place ini sudah tersebar di bermacam-macam negara dengan bahasa terjemahan yang dijual di toko buku terdekat.

“Namun, pikiran mengerikan mengambil alih bernaknya dan tak kunjung pergi. Di antara tujuh miliar orang yang seplanet dengannya, tak satupun mengetahui isi kepalanya. Tak satu pun tahu bahwa dia hilang arah. Tak satupun bertanya.”

Ini adalah kisah seorang Liz Emerson yang bunuh diri dengan sengaja dengan melewati pembatas tol dan mempertimbangkan segala hukum Newton yang dia sendiri tak pahami. Ketika dia kritis dan masuk rumah sakit, orang-orang, termasuk pacarnya yang suka berselingkuh (Jake Derrick) juga hadir. Monica, sang ibunda yang sama suka berpura-pura seperti Liz hadir, begitupula kedua temannya Julia dan Kennie, bahkan gurunya (Mr. Eliezer). Mereka bercerita tentang segala masa lalu yang lucu tapi anehnya sedih, karena mereka tahu, Liz tak mau lagi bertahan, sebab hanya satu caranya sembuh, yaitu keinginan Liz sendiri. Di sisi lain, ada tokoh Liam yang ternyata diam-diam menyukai Liz. Walaupun Liz sang cewek populer yang dingin dan kejam, dia paham Liz juga menginginkan hal-hal indah.


“….Dia tinggal di dunia yang seluruhnya adalah langit.
Tak dapat dipercaya, bahwa suatu hari kelak, dunianya akan menjadi demikian kelam dan demikian berjarak, sampai-sampai ketika dia menengadah, dia tidak bisa menemukan cahaya bintang.”

Buku ini adalah buku paling bagus yang pernah aku baca. Sebab, akhir-akhir ini saya mencari buku yang punya setting bunuh diri atau perasaan ingin demikian. Buku ini sangat mewakili hal-hal yang seringkali tidak orang sadari, bahwa semua orang di dunia ini manusia. Tidak ada salah pengetikan, walau bahasanya cenderung rumit karena menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku sampingan, aku berani memberikan penilaian setinggi-tingginya karena buku ini menceritakan semuanya dengan amat pas, sedih yang mendalam dan pesan untuk tetap hidup seorang Liz, bahwa banyak orang yang menyayanginya. Tampilan buku juga sama selayaknya mobil Liz yang berwarna merah (Merchedes). Ada beberapa kutipan antara tokoh aku dan Liz yang punya kias indah, seperti pada kutipan sebelumnya. KIlas balik tentang kota Meridian terpampang begitu ngena dan sesuai untuk karakter anak remaja. Mabuk-mabukan, menghina, menhajar orang, dan Liz sendiri sebagai tokoh keras juga tahu bahwa itu salah, maka dia bunuh diri.



Tidak ada kekurangan menurutku di buku ini. Saking bagusnya, sangat disayangkan epilognya cukup sedikit karena aku bahkan berusaha membaca ini perlahan-lahan agar tidak cepat selesai. Aku ingin bisa menikmati kisah Liz di saat diri sendiri memang sama, tak tertolong atau bahkan larut serta merasa kasihan terhadap hidup orang lain.

Jika kalian punya keinginan bunuh diri, sangat tidak disarankan untuk membaca ini. Bacalah buku ini untuk kalian yang mengaku berhati baja dan berada di suasana hati yang baik. Buku ini akan merayapi kesedihan cerita Liz yang bahkan membuat seluruh bagian saraf otak akan terisi dengan kata-kata menyedihkan karena belum selesai membaca hingga tuntas. Dibanding mengambil banyak sarat makna tindakan, buku ini lebih tepat sebagai intropeksi diri, bahwa kita tak pernah sendiri. Selalu ada langit yang indah dan orang-orang yang bahkan diam-diam tak pernah ingin kita pergi.

Re-reading? Yes.
Rating: 5/5



cr: @sherenal

0 komentar:

Posting Komentar