RESENSI NOVEL HAFALAN SHALAT DELISA
by sherenal_
Judul: Hafalan Shalat Delisa
Nama penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika
Tahun terbit: 2016
Cetakan ke: 27
Tebal buku: 266 hal.
“Jangan pernah lihat hadiah dari bentuknya, lihat dari niatnya insyaAllah hadiahnya terasa lebih indah. Ah iya, Ustadz Rahman juga pernah bilang: kita belajar shalat hadiahnya nggak sebanding dengan kalung, hadiahnya sebanding dengan surga.”-hal. 33
Tere Liye adalah penulis best seller terkenal di Indonesia, bahkan banyak karyanya sudah di-film-kan—mencapai jutaan penonton pula, salah satunya Hafalan Shalat Delisa. Novel ini mengingatkanku pada buku pertama yang kupunya “Daun yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin”. Sama-sama memilukan dan tentunya relate akan hal kekeluargaan.
Aku tak habis pikir dengan cara dia menuliskan semuanya sebegitu mengalir. Tidak ada paksaan, runtut, kisah Delisa ini tidak kecepatan maupun bertele-tele/lambat. Pas. Sudut pandang Delisa di sini lucu sekali, ketikannya meliputi intonasi anak kecil sehingga pembaca turut gemas. Tere Liye menuliskannya seolah ia ada di kejadian Tsunami Aceh yang gempar belasan tahun itu, persisten, penuh penghayatan kuat sehingga perasaan kacau-bahagia tokoh-tokoh di dalamnya amat terasa.
Delisa adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Kakaknya Fatimah (usia 15 tahun), Zahra dan Aisyah (12 tahun—anak kembar). Delisa susah bangun subuh, ia juga kesulitan menghafal bacaan shalat walaupun sudah ada jembatan keledai dari Kak Aisyah yang suka menjahilinya. Demi seuntai kalung D untuk Delisa dari Ummi, pula sepeda dari Abi, Delisa ingin bisa hafal, khususnya saat penilaian shalat itu tiba. Namun, 26 Desember 2004 tsunami meluluhlantakkan kota Lhok Nga, Aceh tempat mereka tinggal. Abi yang bekerja di kapal asing seketika bergegas pulang, penduduk dan kota itu rata. Delisa hanya ingin shalatnya sempurna, tanpa terbalik-balik, bahkan saat sujud di penilaian shalat, ia turut hanyut menyisakan kenangan indah di otaknya yang tak pernah kembali.
Sampul bukunya bagus sekali, mencerminkan keluarga Delisa yang lengkap dan gugur. Kisahnya penuh riset nan detail, bahkan tokoh figuran seperti ibu-ibu di samping Delisa di rumah sakit bisa membuat pembaca turut tersedu sedan. Sungguh setelah kesulitan akan ada kemudahan. Itu Janji Allah, maha pemegang janji. Kejadian Abi menangis di tahajud dan Delisa yang berbicara di makam saudaranya ngilunya tak tertahankan. Aku sempat bertanya kenapa bencana datang di kota yang religius itu. Faktanya, kejadian ini jadi hidayah orang sekitarnya: Prajurit Salam dan Kak Shofi yang sebelumnya tak bisa memaafkan kehilangan. Hikmah bahwa manusia trahnya tak pernah sendiri. Ada ribuan malaikat yang menyaksikan ketulusan kita. Ada Allah yang maha pengasih pula pemaaf. Dalam karakternya, kedewasaan dan rasa ikhlas anak kecil bermata hijau (Delisa) ini membuatku malu. Ia lebih cepat menerima ketimbang Ummam bahkan abinya sekalipun.
Aku hanya sedikit terganggu dengan footnote yang berisi reaksi atas cerita yang sedang seru-serunya. Walaupun ada beberapa typo, karya ini tetap hebat. Bahkan saking berisi/menginspirasi aku suatu hari ingin membacanya ulang. Kejadian serupa mukjizat mungkin terkesan kurang logis, tetapi seiring waktu hal tersebut justru jadi hal lebih, menjadikan cerita tak terlupakan, menyadarkan bahwa kita tidak pernah memiliki diri kita sendiri, tetapi kepunyaan Allah. Sesungguhnya semua musibah ini juga sesuai kemampuan hambanya dan Delisa memahami itu.
0 komentar:
Posting Komentar