Pages

Kamis, 25 November 2021

Resensi Novel Tentang Kamu karya Tere Liye

Resensi Novel Tentang Kamu karya Tere Liye

photo and review credited to @sherenal_ 





Judul: Tentang Kamu

Nama penulis: Tere Liye

Penerbit: Penerbit Republika

Tahun terbit: 2017

Cetakan ke: 7

Kategori: Novel

Jumlah halaman: 524 hal.

 

“Ada banyak hal-hal hebat yang tampil  sederhana. Bahkan sejatinya, banyak momen berharga dalam hidup datang dari hal-hal kecil yang luput kita perhatikan karena kita terlalu sibuk mengurus sebaliknya.”-hal. 257

“Maka semoga besok beban di hati terangkat sedikit. Tidak usah banyak, sedikit saja tidak apa. Besok, besoknya lagi, biarkan waktu menyiram semua kesedihan hingga hilang tak berbekas.”-hal 384

“Tapi apa pun itu, di atas segalanya, aku tetap bahagia dan beterima kasih. Karena pada akhirnya, semua hal memang akan selesai, memiliki ujung kisah. Maka saat itu berakhir, aku tidak akan menangis sedih, aku akan tersenyum bahagia karena semua hal itu pernah terjadi.”-hal.409

“Mencintaimu telah memberikan aku keberanian, dan dicintai olehmu begitu dalam telah memberikanku kekuatan.”-hal 409

 

Sebelum aku membaca, aku tahu novel Tere Liye akan memberi banyak pengetahuan, mengetahui membaca novel lainnya, seperti Hafalan Shalat Delisa, Hujan, Daun yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin, Ceroz dan Batozar, punya banyak riset, bahkan masih berbekas akan konflik dan segala kejadian brillian.

 

Pada awal halaman, akan ditemukan daftar isi dengan 33 bab. Namun, selain tebal buku yang cukup banyak, terdapat beberapa surat dari Sri yang membawa perjalanan justru semakin utuh. Bersudut pandang orang ketiga, yang kisahnya ditelusuri oleh seorang pengacara. Narasi dengan paragraf penuh, sangat rapi, tidak dipaksakan, dan penuh penghayatan tokoh. Segala aspek dibawa oleh novel ini, mulai dari hukum, politik Indonesia, perekonomian global, keluarga, serta berbagai budaya lokal maupun mancanegara yang sangat kompleks. Perjalanan—lika-liku seorang Sri Ningsih, yang menyautpautkan konflik selama 60 tahun sungguh berbeda dari novel lainnya.

 

Bermula dari perusahaan hukum Thompson & Co yang meminta Zaman Zulkarnaen mengurus warisan triliunan poundsterling di perusahaan global, London, yang kemudian menelisik kisah Sri Ningsih dari lahir, hingga meninggal dunia. Kejadian di mana ibu kandungnya meninggal, ayahnya menikah lagi dan menghadirkan adik tiri bernama Tilamuta, tetapi ayahnya diketahui tidak kembali dari pelayaran di tengah badai. Sri Ningsih dibantu Ode, di lain waktu sering dipukul Nusi Maratta, tidak boleh pulang sebelum terkumpul uang banyak, sering menahan lapar, berjalan kaki puluhan kilometer, di usia masih belasan. Kejadian pilu lagi-lagi dimulai, satu per satu orang lenyap dari hidupnya, bahkan dilabeli sebagai anak kutukan. Ia memulai hidup baru mulai dari Pulau Bungin Sumbawa, Surakarta, Jakarta, London, bahkan Paris dengan memulai dari nol, hanya berbekal apa kemampuan fisik maupun otaknya. Kulit hitam, pendek, gempal, pekerja bangun pagi pulang malam, dengan ide cemerlang pengalaman demi pengalaman, pula masa kelam setiap tragedi maupun pembunuhan di hidupnya. Hidup tanpa dendam, kesabarannya, dan kebaikannya memberi arti untuk orang di sekitarnya, tetapi sayang badai tak pernah surut, begitupula masa lalu di ingatan.

 




Bukan hanya amanatnya yang super banyak, penjelasan mengenai budaya ini mampu diacungi jempol. Pasalnya, cerita di dalamnya tidak dipaksakan, ada saja ide mengenai guru penari, kemudian kegiatan penghargaan, latar belakang maupun ikonik negara yang membuat pembaca juga sama-sama berkeliling dunia. Kehidupan Sri Ningsih tak tak pernah disesali dan diikhlaskan, menyatukan banyak perasaanku, terlebih saat menjelang halaman terakhir. Mengetahui ini kisah 60 tahun terakhir, pertikaian konflik PKI, inflasi parah, serta pemberontakan, kemacetan, maupun adat-istiadat, seperti Betawi, India, Jawa, dan lain-lain masuk ke dalamnya. Banyak sekali plot twist, adegan luar biasa yang tentunya membuat pembaca penasaran. Jika surat umumnya panjang, bertele-tele dan membosankan, maka surat Sri Ningsih adalah kertas yang ditunggu-tunggu karena poin pentingnya ada di sana—membuatnya spesial. Sri Ningsih mempunyai banyak keluarga, kisah cintanya dengan Hakan yang sama tidak biasanya, kemudian warisan yang memberi banyak jawaban membuat novel “Tentang Kamu” semakin bernilai. Novel Tere Liye ini membuktikan ada novel yang sama mencerdaskannya, bahkan sampai ke sisi karakter, seperti buku pelajaran lainnya, bedanya dirangkap lebih menarik.

 

Tidak ada kritik berarti dariku, hanya penasaran mengapa Zulkarnaen tidak membaca semua surat itu dalam satu waktu supaya langsung tahu tempat inti dalam satu waktu, menghubungkannya, siapa tahu mampu meringkas waktu. Kemudian keharuan ini selalu dikaitkan dengan kematian yang membuat kisah Sri Ningsih ini membuatku sedikit kesal karena kasihan pada tokoh utamanya. Terakhir, aku juga mempertanyakan bagaimana Zulkarnaen bisa menyimpulkan kisah Lastri yang butuh penelaahan lanjut dan bukti valid lainnya. Di sisi lain, kisah ini tetap sangat menarik dan berarti, saat di mana dua ratus halaman selesai dalam satu setengah jam, napasku ditarik ulur menjelang ending cukup tidak terlupakan.

 

Dari halaman awal, sudah dirasa cukup berat. Memberi pengetahuan dari sisi hukum, kehidupan di luar negeri yang membuatku jadi sama-sama ingin menjelajah dunia. Aku sering tergelak menahan sedih bagaimana hidup Sri Ningsih tak pernah reda dari konflik. Semuanya selalu terkait kehilangan. Novel ini punya banyak sekali amanat, terutama pada kesabaran, bahwa seseorang tidak akan tersakiti sedikit pun selagi ia bersabar. Sosok yang tak pernah lupa dengan tanah airnya itu, membuktikan bahwa kesempatan memang selalu ada, inovasi dan setiap langkah besarnya akan menciptakan jejak tanpa kesia-siaan. Aku awalnya sempat heran dengan judulnya, mengapa tidak dijuduli “Sri Ningsih” saja, tetapi sosok atau titik bahagialah yang membuatnya berarti dengan judul itu.  Cocok untuk semua umur, terlebih untuk anak jurusan Hukum. Kalian yang suka bacaan berat atau ingin menguasai lebih banyak sudut pandang juga direkomendasikan membaca “Tentang Kamu”.

Rabu, 10 November 2021

Resensi Novel The Dog Who Dared to Dream oleh Hwang Sun-Mi

Resensi Novel The Dog Who Dared to Dream

photo and review credited to @sherenal_



 Judul: The Dog Who Dared to Dream

Nama penulis: Hwang Sun-Mi

Penerbit: Penerbit Baca

Tahun terbit: 2020

Cetakan ke: 1

Kategori: Novel

Jumlah halaman: 258 hal.

 

“Lupakan perkataan itu. Tidak perlu dipedulikan. Kamu ya kamu. Tidak ada yang berubah.”-hal. 57

 

Hwang Sun-Mi adalah penulis best seller dari Korea Selatan. Buku The Dog Who Dared to Dream adalah salah satu karyanya yang laris hingga diterbitkan dan diterjemahkan ke berbagai mancanegara, bahkan mendapatkan awards di London. Aku membeli buku ini secara online karena terpikat dengan cover maupun sinopsisnya—novel sudut pandang hewan pertamaku.

 

Buku bercover biru tua ini memiliki ilustrasi pada setiap pergantian partnya. Pemaparan cerita dari Hwang Sun-Mi mengisahkan secara runtut dan pada intinya. Penulis menyisipkan unsur Korea termasuk panggilan dan istilah, seperti pada hal. 205: makgeolli (alkohol tradisional Korsel dari fermentasi beras). Sesuai yang diduga, ini serupa fabel karena didasari sudut pandang hewan, termasuk perasaannya sebagai makhluk hidup.

 

Buku ini menceritakan seekor anjing bernama bulu panjang karena bulunya yang hitam sekaligus panjang hingga menutupi mata. Tak ada satu pun saudara maupun orang tuanya yang memiliki bulu seminoritas itu, sehingga orang tua termasuk saudaranya cenderung tidak mau berbagi makanan dengannya, dan bulu panjang harus mencari waktu yang tepat. Kemudian pada musim dingin, seorang pria penjual binatang mengadakan penawaran dan ditolak oleh majikannya (Tuan Pita Suara) sehingga terpaksa dicuri dengan menaruh racun pada daging santapan. Ketika semuanya pingsan, hanya bulu panjang yang sadar karena ia tidak memakannya sama sekali. Penculikan itu membuat anjing bulu panjang kesepian. Namun, takdir membuatnya bertemu dengan anjing jantan putih (pemimpin) dan cokelat (pemburu) yang kemudian menciptakan harapan baru.

 



“Luka membuat anak-anak belajar dan menjadi dewasa.”-hal. 197

 

The Dog Who Dared To Dream adalah novel ringan yang membuat hariku lebih tenang. Awalnya aku takut membuka sampul plastik karena covernya terlalu cantik dan khawatir kertasnya menguning, tetapi baru kubuka harus robek terlempar karena amarah adikku. Buku ini membuatku tahu bahwa hewan sungguhan punya perasaan, bisa merasakan sedih, senang, takut, bingung, seperti manusia. Tata cara penulisannya rapi, termasuk elipisis, dan terjemahan yang sekiranya mudah dimengerti. Ada bagian di mana aku menyicil dan semangat membuka halaman demi halaman ketika hal pilu dan kebahagiaan bulu panjang hadir bergantian. Tercekat, khususnya ketika ia harus kehilangan saudaranya bahkan anak-anaknya. Hewan lainnya juga dimunculkan untuk memperkaya cerita, seperti kucing tua dan kakak ipar (ayam betina). Entah terjemahannya atau subjektifku, cerita ini cukup jenaka, melankolis, dan menginspirasi—memberikan sudut pandang dari manusia yang kadang menghakimi dan menyayangi hewan. Novel ini juga tanpa sadar memberikan wawasanku terhadap budaya Korea Selatan yang dilakukan keluarga majikan bulu panjang. Kehangatan dan kehidupan sehari-hari rasanya nyata terjadi bukan sekadar cerita, sehingga menurutku akan lebih bagus dan tergambarkan jika buku bestseller ini difilmkan.


Meskipun begitu, terjemahan buku terlaris ini terlalu ringan dibaca karena aku cenderung menyukai buku berat dan makna tersirat, walau ternyata makna tersirat paling besar buku ini ada pada halaman terakhir. Judulnya sedikit menjebak untuk siratan “karir” yang kupikir. Panggilan untuk hewan juga kurang tepat, seperti “kakak ipar”, “kucing tua”, “si hitam”, tetapi cukup membuatku tertawa dan bisa dipahami. Jumlah anak dari ibu bulu panjang, termasuk anak bulu panjang sendiri yang banyak membuatku sulit menghafal bahkan me-reka ulang, tetapi kisah masing-masing mereka bermakna.

 

Novel ini sangat cocok untuk pencinta hewan, khususnya anjing. Buku ini juga ada serial lainnya dari penerbit Baca: The Hen Who Dreamed She Could Fly. Ketika membaca pesan pribadi penulis, aku menyadari bahwa judulnya mengartikan bulu panjang yang ingin terus menantikan hal-hal baik hingga akhir hayatnya. Bukan bermimpi untuk merubah dirinya sendiri, tetapi kehadiran anjing atau keluarganya, termasuk manusia dan hewan lain. Kehangatan di balik pagar rumah itu menjanjikan sesuatu yang tidak perlu diceritakan, tetapi dirasakan dan dikenang selamanya.