Pages

Sabtu, 26 Maret 2022

Resensi Novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye

 review and photo credited to @sherenal_


Judul: Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Penulis: Tere Liye

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan ke: 27

Tahun terbit: 2016

Tebal buku: 264 hal.

Genre: Fiksi umum

 





    “Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah ke mana.”-hal. 197

 

    Tere Liye adalah penulis best seller di Indonesia. Karya lainnya antara lain Ayahku Bukan Pembohong, Kau Aku dan Sepucuk Angpau Merah, Negeri Para Bedebah dan Lainnya. Buku Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin adalah novel pertama yang kumiliki, saat masih berada di kelas 1 SMP.  Novel ini telah cetak dan berganti sampul, masih banyak peminatnya.

 

    Novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin memiliki sudut pandang orang pertama. Judul setiap babnya ditulis dari hitungan waktu 20.00 hingga keesokannya 09.00. Waktu di mana Tania menyelesaikan semuanya. Penulisan Tere Liye baku, tetapi informal pada percakapan. Disisipi pula suara hati. Disisipi pula elipsis dan kurung dua untuk memberi penekanan bacaan dan makna. Tere Liye memiliki gaya bahasa yang khas, dengan riset dan detail latar tempat.

 

    Ini semua bermula ketika Tania dan Dede, adiknya yang putus sekolah mengamen sepanjang hari untuk mengumpulkan uang. Ibunya saat itu sedang sakit-sakitan. Awalnya kaki Tania tertusuk paku, kemudian Om Danar mengobati Tania. Hari kemudian, Om Danar membelikan alas kaki untuk Tania dan Dede. Saat itu usia Tania 11 tahun, Dede 6 tahun, dan Om Danar 25 tahun. Setelah itu, Om Danar mengajak Dede dan Tania berjalan-jalan di toko buku—tempat paling penting Tania. Tempat untuk melihat ke luar kaca, berdiam diri. Om Danar kemudian sering membelikan Dede Lego, membantu pengobatan ibu Tania, menyekolahkan, dan mengajak Dede Tania mengikuti kelas mendongengnya. Ibu Tania kemudian menjual kue, hingga berkembang dan mempekerjakan beberapa karyawan—lanjut mengontrakkan rumah. Namun, ibu Tania jatuh sakit, didiagnosis terkena kanker.

    Tania melanjutkan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Akhir-nya di Singapura, berkat ASEAN Scholarship. Saking cerdasnya, ia menjadi urutan paling awal di sana, ditemani Anne yang mengetahui kebiasaan Tania membalas e-mail dari Om Danar dan Dede. Bagi Anne, itu sama sekali tidak mungkin orang yang usianya terpaut jauh 14 tahun disukai oleh Tania. Padahal, banyak yang suka Tania, seperti laki-laki dari di Toko Buku dan teman-temannya di Singapura yang tak selalu mengikutinya. Ketika Tania pulang, ia membelikan adiknya lego yang cepat sekali selesainya. Om Danar menghadiahi liontin kepada Tania. Kondisi semakin runyam ketika Om Danar memutuskan untuk menikah dengan Ratna, tepat setelah mereka berempat bertemu sebelum Sekolah Menengah Akhir, barang untuk makan bebek. Tempat Tania perlahan, kemudian sempurna teralih. Masalah tidak sampai situ saja, hingga akhirnya Dede mengungkap bahwa Liontin dan cerita di laptop Om Danar membuktikan ada yang salah pengertian dari Tania selama ini. Membuat semuanya sukar dipahami dan memilukan di akhir.

    Bagiku, novel ini sangat berharga. Novel ini bahkan menginspirasiku untuk menulis novel fiksi umum  dengan sistem amati-tiru-modifikasi, meskipun belum sebaik Tere Liye. Banyak sekali plot twist seperti penulis buku dari maibelopah (Om Danar). Banyak pula bagian yang mengharukan, seperti bab 20.15. Di pertengahan novel, disisipi chat yang lucu. Aku tidak tahu betapa indah dan menyedihkan Tania dan Danar ini, terutama saat Tania diantar temannya, menemui Om Danar bersama Ratna. Penulisan Tere Liye yang rapi dan mengalir membuat pembaca merasakan tokohnya dengan baik, tidak memaksakan. Background penjelasan detail bisa dilihat pada bagaimana Tania teringat pada sulitnya menjadi pengamen saat di warung makan bertemu dengan teman mengamennya. Om Danar yang sempurna dan hebat di berbagai bidang, pecinta anak kecil. Tania yang cerdas dan berubah karakternya ketika banyak yang menyakitinya—tetap baik. Dede yang menjadi sumber humor di cerita ini. Ratna yang sabar dan pengertian. Anne yang rasional, setia menemani Tania.

    Agak disayangkan, jika membaca terlalu detail, pada pertengahan halaman terdapat spoiler yang membuatku sadar bagaimana ending ini berakhir, walaupun tidak sempurna sesuai tebakanku. Aku kagum banget sama Om Danar. Jadi orang dewasa, cerdas, penuh kasih sayang, menjadi pendengar yang baik, tetapi kuakui dia bodoh dalam urusannya dengan Tania. Meskipun begitu, alur novel ini tidak pasaran, bahkan unik sekali. Di mana pohon linden depan rumah kardus menjadi saksi dua sosok hebat yang mempunyai benang merah—hubungan rumit.

    Novel ini sangat cocok untuk kalian yang sedang berjuang untuk merubah nasib. Cocok pula untuk yang punya percintaan dengan usia terpaut jauh. Kisah Tere Liye memberikan amanat mendalam. Bahwa daun yang jatuh tak pernah membenci angin mengajarkan sesuatu bahwa kepergian seseorang memberikan penerimaan, pemahaman, dan pengertian. Bukan karena tak sayang lagi, tetapi memang seharusnya begitu.

 

 

 

 

 


Sabtu, 12 Maret 2022

Resensi Novel Hatiku Memilihmu Karya Arumi E

review and photo credited to @sherenal_


Judul: Hatiku Memilihmu

Penulis: Arumi E

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan ke: 2

Tahun terbit: 2016

Tebal buku: 245 hal.

Genre: Romance

 



    “Bagi orang yang tidak paham, mungkin kegiatan shalat yang menginterupsi pekerjaan dianggap memanfaatkan waktu efektif kerja. Namun, konsentrasi dan fokusnya dalam bekerja seolah-olah terbarukan setelah jeda sepuluh menit untuk shalat wajib.”

 

    Arumi E adalah penulis kelahiran Jakarta. Salah satu karyanya telah difilmkan berjudul Merindu Cahaya de Amstel. Ia mempunyai harapan untuk mengunjungi latar tempat yang ada di novel-novelnya. Awal aku membeli novel ini karena sampul bukunya cantik dan latar tempat luar negeri menarik banget!

 

    Novel ini ditulis dari prolog hingga epilog, mempunyai alur maju, dengan sudut pandang orang ketiga. Disisipkan kutipan cerita berkesan sebelum paragraf dimulai. Penulisannya formal dan mengalir. Dengan latar belakang Amerika dan Jakarta, ada suasana salju-taman-komunitas islam, serta tempat khas-kental budaya yang ada di Jakarta (Betawi).

 

    Novel Hatiku Memilihmu diawali dengan Dara Paramitha, lulusan Universitas Columbia, New York yang harus meninggalkan temannya: Keira dan Aisyah. Ia juga harus meninggalkan Brad dan Richard, dua sosok lelaki yang menyukainya. Brad sering bertemu dengan Dara di tempat umum karena bukan mahram dan meskipun sama-sama menyukai, mereka masih belum resmi. Dara merasa harus bertanggung jawab pada ayahnya, Narendra, mengabdi di kantornya, negaranya. Sedangkan Brad sendiri sebagai pianis modern-klasik sekiranya mudah dan tengah berkontrak untuk bekerja di Amerika. Baru awal bekerja, ternyata Richard menyusul Dara dengan bekerja di kantor Narendra. Meskipun gajinya lebih sedikit dengan tempat tidak seluas Amerika, pria cerdas itu diterima dengan lapang. Brad yang mengetahuinya seketika turut ingin menyusul. Di sinilah Brad nanti diajak berkeliling Jakarta, seperti Museum Fatahillah, Museum Wayang, makan soto Betawi, dan tak heran ada konflik dengan Richard. Di sisi lain, Richard memiliki rekan bernama Chatlea Rumi. Lea awalnya jarang shalat, tak pernah puasa, bertemu Richard yang mualaf dan terpaksa jika bersama Richard. Richard disambut hangat ketika bulan idul fitri dan diajak berkeliling takbiran. Lea perlahan kagum dengan Richard. Ia sering bersinggungan kerja dengan Richard, bahkan hingga larut malam. Richard juga mengajaknya untuk melakukan bakti sosial di tempat kumuh di Jakarta. Lea berubah dengan bangun pagi dan mengutamakan shalat, yang dinaungi berkat Richard. Di lain sisi, Richard tetap mengejar Dara mengetahui Brad tidak menunjukkan kepastian menikahi Dara.

    Buku ini dinilai sangat ringan, dapat selesai sekali duduk. Namun, membaca ini untuk kedua kalinya, membuatku tersadar betapa hebatnya perusahaan Narendra yang mengutamakan shalat. Bahkan, meskipun sedang rapat di mana ketuanya sangat galak, ia menjadi lunak jika ada yang izin shalat. Meskipun tokoh utamanya Brad dan Dara, tetapi Arumi E mampu menyisipkan kisah Lea dan Richard yang menggugah hati. Bagaimana Richard mengajarkan untuk mempunyai hidup seimbang—tidak hanya bekerja, ia taat beragama dan menjadi lebih hidup dengan membantu orang lain. Lea yang hijrah tentu menjadi sorotan bagi pembaca. Bagaimana Dara dan Brad menjaga jarak juga patut diacungi jempol. Brad yang mampu menjaga kesetiaannya dari Kathryn, dan Dara yang menjadi perempuan independen, taat pada orang tua. Bukan hanya sampul yang bagus, buku ini memberikan makna bahwa menjadi islam juga tidak meninggalkan kecerdasan atau karakter baik yang dibawa. Perjuangan mualaf sesungguhnya tak pernah mudah, terlebih di Amerika yang menjadi momok untuk disalahkan atau bahkan, dalam pertemanan, agama menjadi penghalang, yang padahal Islam menjadikan seseorang tobat dan meluruskan banyak hal.

 

    Meskipun begitu, novel ini akan lebih baik jika diselipi banyak unsur keagamaan, mengetahui sebenarnya kisah Brad dan Dara dapat lebih pelik lagi. Aku cukup kagum dengan Arumi E yang dadapat memasukan unsur Amerika yang tentunya membutuhnya riset yang banyak.  Ini semua tergantung selera. Sejauh ini, novel ini memberikan makna dari cara penyampaian cerita yang ringan.

 

    Novel ini aku peruntukan untuk orang mualaf, LDR, atau bahkan cinta terhalang agama. Bisa juga untuk orang yang mau dekat lagi dengan islam. Arumi E menyisipkan kisah mengharukan, tentang bagaimana agama menempatkan posisi perempuan tinggi, mempunyai kehidupan yang baik dan lebih hangat.