Pages

Rabu, 14 Desember 2022

Resensi Buku Garis Waktu karya Fiersa Besari

 

Review and photo credited to @sherenal_

Judul: Garis Waktu

Nama penulis: Fiersa Besari

Penerbit: Mediakita

Tahun terbit: 2021

Cetakan ke: 33

Kategori: Fiksi

Jumlah halaman: 212




“Di belakangmu ada rasa sakit, di depanmu ada kisah baru, di sebelahmu ada aku yang takkan pergi. Kau hanya perlu mengubah caramu melihat.”-hal. 69

 

“Aku menambatkan jangkar bukan hanya untuk melihatmu sempurna. Aku menambatkan jangkar untuk melihatmu apa adanya.”-hal. 71


“Apa mungkin Tuhan menciptakan kita hanya untuk terkungkung dalam satu ruangan, bekerja mati-matian, kemudian lupa menikmati hidup? Kita diutus ke muka bumi untuk tujuan yang lebih besar bukan terjebak dalam rutinitas semu.”-hal. 100

 

Siapa yang tidak kenal dengan Fiersa Besari, seorang penulis terkenal di Indonesia lulusan sastra Inggris dengan segala karya hebatnya entah itu tulisan maupun lagu—bahkan menjadi sountrack di perfilman. Meskipun tulisannya cenderung berselimut cinta, tetapi Fiersa Besari juga menyisipkan kemanusiaan dan sosial. Garis Waktu menjadi kumpulan tulisan dari 2012-2016 dari perkelanaannya di Indonesia.

 

Pada buku Garis Waktu karya Fiersa Besari ditulis pendahuluan bagaimana karya ini terciptakan, bab dengan judul dengan hitungan bulan dan tahun, serta tulisan-tulisan dalam mulai dari percintaan, pertemanan, orang tua, hingga cita-cita. Disisipi foto estetik dengan kutipan di akhir. Sejatinya, buku ini tentang perjalanan mencintai seseorang—perasaan indah sebelum dan sesudah, serta penerimaan di akhir. Walaupun dalam kisah yang dibalut dalam prosa indah, terdapat pengalaman Fiersa baik berkeluarga maupun kesukaannya mendaki—menikmati alam Indonesia. Dengan demikian, tak luput ketika membaca buku ini akan terkesan kita berada di suasana yang amat tenang layaknya di pinggir laut atau pantai sungguhan, bahkan melihat awan di depan mata kita disertai perasaan bahagia-hancur yang datangnya tak disangka, tetapi memang yang terbaik demikian.

 

Aku membaca buku ini untuk kedua kalinya dan aku mampu memahami betapa bermaknanya cinta Fiersa Besari kepada seseorang yang diharapnya suatu hari membaca karangan Garis Waktu. Saking bagus dan pas untuk situasi banyak anak muda maupun usia produktif, salah satu official account Line memposting karya ini melalui gubahan video dan suara Fiersa Besari. Karya yang teramat indah—bahwa Fiersa Besari menghargai hal kecil, sederhana, tetapi bahagia.

 

“Membenci atau mencemburui kenangan adalah hal melelahkan dan tidak berguna. Sebab, tempatnya selalu di belakang, sebagai kawan dan guru.”-hal. 162

 

“Tuhan memasukkan seseorang ke dalam hidup kita agar kita belajar, bukan agar kita mengutuk.”-hal.175

 

“Untuk mengobati, memang diperlukan waktu. Bukan untuk melupakan, melainkan mengingat dengan sudut pandang yang tidak menyakitkan.”-hal. 177


Setelah membaca buku ini, tidak ada kata lain selain tenang. Aku tiba-tiba juga turut menjadi manusia yang menerima segala konsekuensi—kepahitan yang ada. Di buku ini, terdapat plot twist bagaimana hubungan Fiersa di akhirnya. Aku juga merasakan kedalaman buku pada hal. 64 mengenai penerimaan seseorang seapa adanya dia—sungguh hubungan yang produktif dan tulus. Fiersa Besari mengetahui banyak sisi kelamnya hidup dan merangkumnya menjadi satu pada buku ini.

 

Pemakaian diksinya juga bisa dikatakan ringan dan sangar indah, sampul bukunya pun juga berkesan. Buku ini mengandung emosi yang mengena untuk pembacanya. Namun, hal yang disayangkan adalah bagiannya yang dicampur-campur, seperti topik cinta, karir, dan keluarga yang terselip kurang kohesif. Selain itu, buku ini bisa memberikan pengetahuan tentang kesederhanaan dan kehidupan di mana manusia selalu mengembara dan berkonflik di dalamnya.

Resensi Buku The Things You Can See Only When You Slow Down

 

review and photo credited to @sherenal_

Judul: The Things You Can See Only When You Slow Down

Nama penulis: Haemin Sunim

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun terbit: 2022

Cetakan ke: 13

Kategori: Self Improvement

Jumlah halaman: 265

 


“Ketika batin kita beristirahat, dunia juga ikut beristirahat.”-hal. 13

 

“Alam sadar kita mungkin menginginkan uang, kekuasaan, dan kehormatan, tetapi alam bawah sadar kita menginginkan cinta yang tulus, harmoni, humor, keindahan, kesucian, kedamaian, dan penerimaan.”-hal. 67

Haemin Sunim ialah guru Budha dan penulis terkenal di Korea Selatan. Bukunya tidak sekadar tentang teknik bermeditasi, tetapi juga menghadapi tantangan di kehidupan sebenarnya. Meskipun ia menempuh pendidikan di Amerika Serikat (UC Berkeley dan Harvard), Haemin justru tertarik dengan spiritual. Saat ini ia mengajar agama Budha di Hampshire College di Amherst, Massachusetts. Sedangkan ilustrasi di buku ini dibuat oleh Youngcheol Lee yang merupakan seniman Korea dengan lebih dari 150 pameran yang indah.

 

Pada buku versi Indonesia ini, kredit penulis dan pembuat ilustrasinya diselipkan pada lipatan cover. Pada halaman 61 terdapat ilustrasi menjadi cover buku ini pada versi Inggris. Buku ini terdiri dari Prolog, Delapan Bab (Istirahat, Kebersadaran, Gairah, Hubungan, Cinta, Kehidupan, Masa Depan, Spiritualitas), dan Epilog. Masing-masing babnya memiliki sub bab berjumlah 2. Sebelum membuka halaman awal bab, kita akan disuguhi ilustrasi, demikian pada poin kutipan yang juga terdapat ilustrasi tambahan. Setelahnya, terdapat 2-3 halaman esai dan banyak kutipan pendukung. Di bagian prolog, pembaca disarankan Haemin Sunim membaca pelan-pelan supaya bisa menikmati buku dan hidup lebih santai. Dengan buku ini, aku seperti tahu apa yang dipikirkan dan dirasakan seorang Budha beserta statement yang melekat, seperti pandai kungfu, anak, meditasi yang benar (kualitas bukan kuantitas).

 

Haemin Sunim menyadarkan kita bahwa dunia tidaklah sibuk, yang sibuk batin kita. Kita hendaklah berteman dengan emosi kita bukannya melawannya karena hanya memperparah. Meskipun Haemin seorang Budha yang identik dengan meditasi sendirian, ia tak luput mengingatkan bahwa berbahagia juga bisa dengan membantu orang lain—berinteraksi. Haemin juga menginisiasikan untuk memaafkan orang lain bukan dengan balas dendam, tetapi memberikannya cinta dan berbahagia. Semua kategori disorot oleh Haemin, termasuk percintaan yang sesuai dengan kondisi orang-orang kapan pun—jatuh dan ditolak cinta. Tidak ada yang benar-benar peduli, tidak semua orang harus menyukai kita, dan tindakan kita untuk orang lain sebenarnya untuk diri kita sendiri.

 

“Menyelesaikan satu pekerjaan dengan baik lebih penting daripada perasaan bangga kita saat menyelesaikan pekerjaan dengan baik.”-hal.79

 

“Ketika tidak ada rasa iri atau ekspektasi, bahkan orang paling kaya dan berkuasa sekalipun akan tampak seperti manusia biasa.”-hal.197

 

Ilustrasinya cantik banget. Seandainya dilihat secara dekat dan lama, menikmati gambar dengan lagu atau secangkir teh sangat menenangkan. Di gambar yang identik dengan langit atau kanvas latar belakang yang luas dan tokoh manusia kecil, membuat kita tersadar bahwa sejatinya kita sangatlah kecil dan dunia ini jauh lebih indah dari yang dibayangkan. Dengan latar belakang Haemin Sunim, tak dipungkiri bahwa tentunya beliau telah melalui fase-fase berat, terpatri pada setiap kalimat singkat dan dalam yang ia tulis. Bagi kalian yang kenal Kahlil Gibran, kalian akan senang membaca buku ini karena di salah satu bab mengenai cinta, Haemin Sunim (penggemar Gibran sejak kelas 10) menjelaskan lebih dalam versi lebih logis dan tidak berdramatisasi. Haemin Sunim membuatku mengerti di dunia ini cuma perlu terjun langsung karena sejatinya kita sudah siap—pikiran kitalah yang semakin ragu dan takut jika semakin ditunda.

 

Namun, karena ini merupakan buku terjemahan, terkadang aku merasa kurang pas dengan kutipan yang dituliskan di versi bahasa Indonesia ini. Meskipun begitu, terhitung sangat banyak yang lebih kupahami daripada yang tidak. Jika ditilik lebih jelas, esai di setiap awal bab sebenarnya sudah menjadi poin pokok, sedangkan kutipan berikutnya menjadi pendukung dari esai dengan notabene lebih detail.

 

Untuk kalian yang ingin punya spiritual yang baik, bukan berdasarkan sebagus apa latar belakangmu, tetapi bagaimana membuka hati—merendahkan hati untuk sekitar. Untuk kalian yang ingin mencari hal paling penting di buku ini terletak pada epilognya tentang wajah sejati kita, tentang sebenar-benarnya cara melambatkan waktu. Macam-macam masalah terselesaikan, termasuk Quarter Life Crisis berkat buku The Things You Can See Only When You Slow Down.