Pages

Selasa, 29 Juni 2021

Resensi Novel Intelegensi Embun Pagi oleh Dee Lestari

 Resensi Novel Intelegensi Embun Pagi



--photo and  review credited to @sherenal 


Judul: Intelegensi Embun Pagi

Nama penulis: Dee Lestari

Penerbit: Bentang Pustaka

Tahun terbit: 2016

Cetakan ke: 2

Tebal buku: 710 hal.

 

“Kita itu bergerak seperti satu tubuh, Le. Kalau ada di antara kita yang keminter, bikin rencana sendiri, semua kena getahnya.”-ha 416

“Kamu mungkin ndak percaya dengan ucapanku sekarang. Tapi semua yang terjadi dalam hidupmu adalah yang terbaik.”-hal 526

 

Penulis fenomenal yang membuat karya Filosofi Karya dan Perahu kertas ini memiliki nama asli Dewi Lestari. Banyak karyanya yang telah diladaptasi dalam karya lebar. Intelegensi Embun Pagi sendiri termasuk lanjutan bahkan seri terakhir setelah KBPJ, Akar, Petir, Partikel, dan Gelombang. Semua kisah itu menjadi satu bahasan utuh dalam Intelegensi Embun Pagi.

 

Aku sudah pernah membaca ini saat usiaku 14 tahun, kelas 9 SMP. Kemudian aku membaca ini untuk kedua kalinya. Saat itu aku membaca bisa dalam waktu 9 jam, tidak bisa dipungkiri cara penulisan Dee Lestari yang punya ciri khas sendiri. Banyak istilah dan riset tersirat dalam novel ini. Kosakatanya beragam. Tokoh yang superbanyak dalam novel ini bisa punya karakter kuatnya sendiri, mulai dari cara bicara, pola pikir, perasaan mereka, menjadikan supernova ini betulan terjadi. Menulis buku berbobot dan tebal, seperti ini bukanlah hal mudah.

 

Singkatnya, ini tentang Peretas, Infiltran, dan Sarvara. Peretas dan Infiltran berada di satu kubu. Sedangkan Sarvara kerap dianggap anjing penjaga yang mengurung Peretas. Baik buruknya tergantung dilihat dari kubu mana. Setiap peretas dibentuk seamnesia mungkin kemudian ingatan mereka akan menuntun menemukan jawaban. Mereka harus minum Ayahuasca dulu untuk mengingat kisi pemicu ingatan mereka pula untuk masuk Asko (di mana setiap Peretas ini harus menjaga kandi mereka di Asko dan harus bergerak bersama, tak boleh ada satu pun berkhianat agar berhasil). Diawali dengan Gio (Kabut) yang ke Indonesia untuk menilik kasus Bintang Jatuh (peretas gugus sebelumnya yang timnya hancur), kemudian Bodhi (Akar) dan Elektra (Petir) yang sama-sama ingin menemukan jalan untuk mempergunakan kekuatan mereka, tetapi justru terpergok oleh Sati (Sarvara), kemudian ada Alfa (Gelombang) yang bersebelahan dengan Kell (Infiltran) hingga mengetahui siapa dirinya, lalu Zarah yang terus mencari keberadaan ayahnya Firaz yang hilang di Bukit Jambul, meninggalkan jurnal peretasnya dari gugus sebelumnya yang gagal. Perjalanan mereka yang mulai bisa mengingat kemudian diburu Sarvara untuk menghancurkan kandi mereka, diiringi Infiltran dengan 1001 perkiraan dan kemungkinan supaya Peretas bisa bergerak sesuai alur.

 

Aku sangat suka dengan cover bukunya yang ajaib punya efek seperti kaset (pelangi). Buku setebal ini juga kuat sekali, tidak ada lembar satupun yang lepas mengingat usianya sudah 4 tahun kubuka. Seperti yang kubilang sebelumnya, tokohnya kuat dan penuh riset. Bisa juga termasuk multiple genre. Setiap peretas selalu punya kisah yang rumit dan Dee Lestari menjadikannya runtut. Contohnya memunculkan tokoh, seperti Toni, Reuben, Dimas, teman  seperkomplotan Elektra, dan masih banyak lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-satu, tetapi peran mereka tetap ada. Dialog-nya juga memungkinkanku untuk bisa memahami dan melanjutkan halaman demi halaman. Rasa gregetan, gantung, dan takut pula kurasakan sehingga penasaran. Ada perpaduan berbagai Bahasa di sini, seperti Mandarin, Perancis, dan Inggris. Novel ini juga membuktikan selalu ada kesempatan untuk berhasil bahkan walaupun mustahil dan terkadang, drama dan masa lalu bisa jadi penghalang, konsep memaafkan dan menerima.

 

Aku sempat amnesia novel ini bercerita tentang apa. Sebab, alurnya yang bolak-balik ke setiap individu dengan tiap masalah dan keterkaitannya memungkinkan pembacanya lupa apa yang terjadi belum lagi istilah-istilah yang harus dicerna baik supaya paham. Yang jadi pertanyaanku adalah, siapa dalang di balik mereka yang kejar-kejaran.

 

Novel fantasi ini cukup worth it dibaca karena memang beda dari yang lain. Terlebih lagi yang punya pemikiran kritis, berat, atau butuh ide memparafrase paragraf supaya berisi, karya ini mungkin bisa jadi referensi sekaligus bahan belajar yang mengisi waktu luang dengan kekompleksan ceritanya. Bisa jadi novel ini ada turunannya, but well siklusnya sama dengan tiga tokoh utama epic ini (Peretas, Infiltran, dan Sarvara).

 

 

 

 

 

Selasa, 08 Juni 2021

Resensi Novel Someday karya Winna Efendi

 


--photo n review credited to @sherenal


Judul: Someday

Pengarang: Winna Efendi

Penerbit: Gagasmedia

Cetakan ke: 1

Tahun terbit: 2017

Tebal buku: 400 hal.

Genre: Fiksi remaja

 


“Kita akan memiliki versi-versi diri yang berbeda saat bersama orang-orang yang berbeda pula. Tapi, hanya dengan orang yang tepatlah kita akan menjadi versi yang terbaik dari diri kita sendiri.”-hal 355

 

Karya Winna Efendi sudah banyak yang diterbitkan, dan aku jatuh cinta dengan setiap karyanya. Dari Happily Ever After, kemudian Someday (yang ada sedikit hubungannya dengan kisah Happily Ever After). Membaca buku Someday untuk kedua kalinya membuatku menemukan hal-hal yang belum tercerna baik, dan menyadari alasan mengapa aku bisa memfavoritkan novel ini di antara novel lainnya. Ceritanya serupa dongeng yang nyata, mengalir, dan selalu punya amanat baik kepada pembacanya.

 

Dalam novel Someday menggunakan sudut pandang orang pertama. Setiap partnya pasti ada istilah dan arti dalam Bahasa Inggris. Alur ceritanya maju dan sama sekali tidak buru-buru. Winna Efendi melakukan “show” not “tell” dengan sangat baik sehingga tokoh dan kisah di dalamnya jelas seperti nyata terjadi. Halaman yang menyentuh 400 ini tidak berat dan tidak ringan, sehingga cukup menyenangkan dibaca mengetahui kasus ceritanya yang pelik.

 

Walaupun ini novel remaja, aku tidak merasa seperti novel wattpad yang terlampau bucin, tetapi justru berisi. Terkadang gemas dengan tokoh Art yang egois nan toxic dan nelangsa sendiri terhadap apa yang dirasakan Chris. Bukannya menghakimi, aku seperti merasa yang dialami Chris sangat berat, saat tak ada satupun orang yang bisa menyelamatkannya dari kehampaan, kegelapan.

 

Ini adalah kisah Chris yang suka berenang. Ia mempunyai sahabat bernama Milo (satu klub) yang sudah bersamanya sejak kecil. Chris yang tomboi dan selalu kena remedial, sedangkan Milo yang popular, pintar, dan tak mudah menyerah. Satu detik bagi Milo bisa membuatnya menang. Kemudian Art datang, hanya ingin melihat pertandingan Rita di SMA Harapan—justru fokus dengan Chris. Puisi Sapardi Djoko Damono, toko barang antik, hadiah, dan mimpi masa depan membuat Chris yang tak percaya dengan cinta mulai berdebar jika bersama Art. Di lain sisi, Milo berpacaran dengan Mel. Keluarga Chris yang berantakan, adiknya yang punya masalah perkembangan, dan Chris yang kena korban fisik Art, menjauhkannya dari dirinya yang dulu. Suka menangis, membohongi banyak orang bahwa dia baik-baik saja, tidak punya tempat untuk bercerita, menjadikan mimpinya tak lagi ada. Ia sendiri takut melihat dirinya sendiri.

 

“Hanya karena seseorang telah melukaimu, bukan berarti kamu juga harus melukai dirimu sendiri”-hal 355


Dalam novel ini, aku bisa merasakan diri Chris, perasaanya, hal di sekitarnya, yang membuatku sama sesaknya. Kejadian ia yang hanya melihati kolam renang dan melihat teman-temannya yang dulu dia ada di sana, membuatku ngilu. Hobi klub renang yang makan pizza di Sixties, kemudian membeli barang lebih dari 400.000 serupa mengeluarkan uang tanpa pikir panjang membuatku merasakan kehidupan aesthetic orang kaya yang menjadikan novel ini mirip kisah/film di luar negeri. Kegiatan menyenangkan dan jati diri Chris mengingatkanku untuk punya hal serupa layaknya hari produktif. Amanatnya banyak sekali. Cover buku yang mencerminkan isinya, dan isinya yang berkualitas membuat novel ini sempurna.

 

Hanya kutemukan typo satu huruf, kemudian aku menyayangkan bagian awal cerita ini yang sedikit membosankan karena mungkin awalan penjelasnya panjang, tetapi membantu menerangkan/memperjelas ketika sampai di konflik atau pertengahan.

 

Di lain itu, novel ini bagus untuk dibaca semua kalangan umur. Novel ini juga bagus karena menyinggung mental illness, perasaan kacau—kecemasan, yang menuntun pembaca sama-sama menemukan solusi.