Pages

Rabu, 14 Desember 2022

Resensi Buku Garis Waktu karya Fiersa Besari

 

Review and photo credited to @sherenal_

Judul: Garis Waktu

Nama penulis: Fiersa Besari

Penerbit: Mediakita

Tahun terbit: 2021

Cetakan ke: 33

Kategori: Fiksi

Jumlah halaman: 212




“Di belakangmu ada rasa sakit, di depanmu ada kisah baru, di sebelahmu ada aku yang takkan pergi. Kau hanya perlu mengubah caramu melihat.”-hal. 69

 

“Aku menambatkan jangkar bukan hanya untuk melihatmu sempurna. Aku menambatkan jangkar untuk melihatmu apa adanya.”-hal. 71


“Apa mungkin Tuhan menciptakan kita hanya untuk terkungkung dalam satu ruangan, bekerja mati-matian, kemudian lupa menikmati hidup? Kita diutus ke muka bumi untuk tujuan yang lebih besar bukan terjebak dalam rutinitas semu.”-hal. 100

 

Siapa yang tidak kenal dengan Fiersa Besari, seorang penulis terkenal di Indonesia lulusan sastra Inggris dengan segala karya hebatnya entah itu tulisan maupun lagu—bahkan menjadi sountrack di perfilman. Meskipun tulisannya cenderung berselimut cinta, tetapi Fiersa Besari juga menyisipkan kemanusiaan dan sosial. Garis Waktu menjadi kumpulan tulisan dari 2012-2016 dari perkelanaannya di Indonesia.

 

Pada buku Garis Waktu karya Fiersa Besari ditulis pendahuluan bagaimana karya ini terciptakan, bab dengan judul dengan hitungan bulan dan tahun, serta tulisan-tulisan dalam mulai dari percintaan, pertemanan, orang tua, hingga cita-cita. Disisipi foto estetik dengan kutipan di akhir. Sejatinya, buku ini tentang perjalanan mencintai seseorang—perasaan indah sebelum dan sesudah, serta penerimaan di akhir. Walaupun dalam kisah yang dibalut dalam prosa indah, terdapat pengalaman Fiersa baik berkeluarga maupun kesukaannya mendaki—menikmati alam Indonesia. Dengan demikian, tak luput ketika membaca buku ini akan terkesan kita berada di suasana yang amat tenang layaknya di pinggir laut atau pantai sungguhan, bahkan melihat awan di depan mata kita disertai perasaan bahagia-hancur yang datangnya tak disangka, tetapi memang yang terbaik demikian.

 

Aku membaca buku ini untuk kedua kalinya dan aku mampu memahami betapa bermaknanya cinta Fiersa Besari kepada seseorang yang diharapnya suatu hari membaca karangan Garis Waktu. Saking bagus dan pas untuk situasi banyak anak muda maupun usia produktif, salah satu official account Line memposting karya ini melalui gubahan video dan suara Fiersa Besari. Karya yang teramat indah—bahwa Fiersa Besari menghargai hal kecil, sederhana, tetapi bahagia.

 

“Membenci atau mencemburui kenangan adalah hal melelahkan dan tidak berguna. Sebab, tempatnya selalu di belakang, sebagai kawan dan guru.”-hal. 162

 

“Tuhan memasukkan seseorang ke dalam hidup kita agar kita belajar, bukan agar kita mengutuk.”-hal.175

 

“Untuk mengobati, memang diperlukan waktu. Bukan untuk melupakan, melainkan mengingat dengan sudut pandang yang tidak menyakitkan.”-hal. 177


Setelah membaca buku ini, tidak ada kata lain selain tenang. Aku tiba-tiba juga turut menjadi manusia yang menerima segala konsekuensi—kepahitan yang ada. Di buku ini, terdapat plot twist bagaimana hubungan Fiersa di akhirnya. Aku juga merasakan kedalaman buku pada hal. 64 mengenai penerimaan seseorang seapa adanya dia—sungguh hubungan yang produktif dan tulus. Fiersa Besari mengetahui banyak sisi kelamnya hidup dan merangkumnya menjadi satu pada buku ini.

 

Pemakaian diksinya juga bisa dikatakan ringan dan sangar indah, sampul bukunya pun juga berkesan. Buku ini mengandung emosi yang mengena untuk pembacanya. Namun, hal yang disayangkan adalah bagiannya yang dicampur-campur, seperti topik cinta, karir, dan keluarga yang terselip kurang kohesif. Selain itu, buku ini bisa memberikan pengetahuan tentang kesederhanaan dan kehidupan di mana manusia selalu mengembara dan berkonflik di dalamnya.

Resensi Buku The Things You Can See Only When You Slow Down

 

review and photo credited to @sherenal_

Judul: The Things You Can See Only When You Slow Down

Nama penulis: Haemin Sunim

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun terbit: 2022

Cetakan ke: 13

Kategori: Self Improvement

Jumlah halaman: 265

 


“Ketika batin kita beristirahat, dunia juga ikut beristirahat.”-hal. 13

 

“Alam sadar kita mungkin menginginkan uang, kekuasaan, dan kehormatan, tetapi alam bawah sadar kita menginginkan cinta yang tulus, harmoni, humor, keindahan, kesucian, kedamaian, dan penerimaan.”-hal. 67

Haemin Sunim ialah guru Budha dan penulis terkenal di Korea Selatan. Bukunya tidak sekadar tentang teknik bermeditasi, tetapi juga menghadapi tantangan di kehidupan sebenarnya. Meskipun ia menempuh pendidikan di Amerika Serikat (UC Berkeley dan Harvard), Haemin justru tertarik dengan spiritual. Saat ini ia mengajar agama Budha di Hampshire College di Amherst, Massachusetts. Sedangkan ilustrasi di buku ini dibuat oleh Youngcheol Lee yang merupakan seniman Korea dengan lebih dari 150 pameran yang indah.

 

Pada buku versi Indonesia ini, kredit penulis dan pembuat ilustrasinya diselipkan pada lipatan cover. Pada halaman 61 terdapat ilustrasi menjadi cover buku ini pada versi Inggris. Buku ini terdiri dari Prolog, Delapan Bab (Istirahat, Kebersadaran, Gairah, Hubungan, Cinta, Kehidupan, Masa Depan, Spiritualitas), dan Epilog. Masing-masing babnya memiliki sub bab berjumlah 2. Sebelum membuka halaman awal bab, kita akan disuguhi ilustrasi, demikian pada poin kutipan yang juga terdapat ilustrasi tambahan. Setelahnya, terdapat 2-3 halaman esai dan banyak kutipan pendukung. Di bagian prolog, pembaca disarankan Haemin Sunim membaca pelan-pelan supaya bisa menikmati buku dan hidup lebih santai. Dengan buku ini, aku seperti tahu apa yang dipikirkan dan dirasakan seorang Budha beserta statement yang melekat, seperti pandai kungfu, anak, meditasi yang benar (kualitas bukan kuantitas).

 

Haemin Sunim menyadarkan kita bahwa dunia tidaklah sibuk, yang sibuk batin kita. Kita hendaklah berteman dengan emosi kita bukannya melawannya karena hanya memperparah. Meskipun Haemin seorang Budha yang identik dengan meditasi sendirian, ia tak luput mengingatkan bahwa berbahagia juga bisa dengan membantu orang lain—berinteraksi. Haemin juga menginisiasikan untuk memaafkan orang lain bukan dengan balas dendam, tetapi memberikannya cinta dan berbahagia. Semua kategori disorot oleh Haemin, termasuk percintaan yang sesuai dengan kondisi orang-orang kapan pun—jatuh dan ditolak cinta. Tidak ada yang benar-benar peduli, tidak semua orang harus menyukai kita, dan tindakan kita untuk orang lain sebenarnya untuk diri kita sendiri.

 

“Menyelesaikan satu pekerjaan dengan baik lebih penting daripada perasaan bangga kita saat menyelesaikan pekerjaan dengan baik.”-hal.79

 

“Ketika tidak ada rasa iri atau ekspektasi, bahkan orang paling kaya dan berkuasa sekalipun akan tampak seperti manusia biasa.”-hal.197

 

Ilustrasinya cantik banget. Seandainya dilihat secara dekat dan lama, menikmati gambar dengan lagu atau secangkir teh sangat menenangkan. Di gambar yang identik dengan langit atau kanvas latar belakang yang luas dan tokoh manusia kecil, membuat kita tersadar bahwa sejatinya kita sangatlah kecil dan dunia ini jauh lebih indah dari yang dibayangkan. Dengan latar belakang Haemin Sunim, tak dipungkiri bahwa tentunya beliau telah melalui fase-fase berat, terpatri pada setiap kalimat singkat dan dalam yang ia tulis. Bagi kalian yang kenal Kahlil Gibran, kalian akan senang membaca buku ini karena di salah satu bab mengenai cinta, Haemin Sunim (penggemar Gibran sejak kelas 10) menjelaskan lebih dalam versi lebih logis dan tidak berdramatisasi. Haemin Sunim membuatku mengerti di dunia ini cuma perlu terjun langsung karena sejatinya kita sudah siap—pikiran kitalah yang semakin ragu dan takut jika semakin ditunda.

 

Namun, karena ini merupakan buku terjemahan, terkadang aku merasa kurang pas dengan kutipan yang dituliskan di versi bahasa Indonesia ini. Meskipun begitu, terhitung sangat banyak yang lebih kupahami daripada yang tidak. Jika ditilik lebih jelas, esai di setiap awal bab sebenarnya sudah menjadi poin pokok, sedangkan kutipan berikutnya menjadi pendukung dari esai dengan notabene lebih detail.

 

Untuk kalian yang ingin punya spiritual yang baik, bukan berdasarkan sebagus apa latar belakangmu, tetapi bagaimana membuka hati—merendahkan hati untuk sekitar. Untuk kalian yang ingin mencari hal paling penting di buku ini terletak pada epilognya tentang wajah sejati kita, tentang sebenar-benarnya cara melambatkan waktu. Macam-macam masalah terselesaikan, termasuk Quarter Life Crisis berkat buku The Things You Can See Only When You Slow Down.

Sabtu, 09 Juli 2022

Resensi Buku Dear Tomorrow karya Maudy Ayunda

review and photo credited to @sherenal_ 


Judul: Dear Tomorrow

Penulis: Maudy Ayunda

Penerbit: Bentang Pustaka

Cetakan ke: 6

Tahun terbit: 2019

Tebal buku: 174 hal.

Genre: Self Improvement

 




“Success is liking yourself, liking what you do, and liking how you do it.”-hal 45

“Everyone has 24 hours in their lives. It is what you do with those hours that make the difference.”-hal. 47

“Not achieving something might feel like a failure, but the ache of regret in having not tried will never fade.”-hal.51

“Don’t forget to see any chane as an opportunity. If it is easy, then it’s not a change at all.”-hal 53

“Self doubt was the only thing standing between me and my dreams.”-hal. 59


Maudy Ayunda adalah aktris, model, penulis, dan penyanyi asal Indonesia lulusan Standford dan Oxford. Dear Tomorrow adalah buku kedua Maudy Ayunda setelah Kina (seri cerita yang ditulisnya saat usia 10 tahun). Dari dulu, aku sangat tertarik dengan Maudy Ayunda. Cara menjadi lebih dekat dengan idola adalah memiliki karyanya, membacanya. Maudy Ayunda adalah orang yang cerdas dan sangat menginspirasi. Kemudian bertepatan dengan pemberian hadiah lomba video, aku membelanjakan buku ini.

Buku ini memiliki sampul hard cover, dengan ilustrasi atau layout berwarna (fotografi dari Maudy Ayunda—hal-hal yang dia sukai). Ada pula pembatas buku berupa tali. Ini memiliki 4 bab, yaitu Notes on being yourself, dreams, love, dan mindset. Ada selipan pertanyaan sebelum lembar utama dimulai. Kita akan menemukan perkenalan Maudy Ayunda yang hangat di awal buku ini. Ia adalah seorang storyteller yang sangat menyukai sekolah atau dunia pendidikan. Maudy Ayunda ingin memberi perubahan di hidup orang lain. Ia menyukai the. Dengan banyaknya tekanan cuaca, pendidikan, dan kesepian, Maudy Ayunda tidak mengeluh. Tujuan buku ini adalah membuat pembacanya tersenyum.

Buku ini menceritakan berbagai pengalaman sekaligus perasaan Maudy Ayunda. Tak luput, ia juga memberikan saran yang membangun dari pengalamannya. Tentang menjadi diri sendiri dimulai dari menemukan jati diri yang sudah ada, mengatasi ekspektasi dengan waktu sejenak—menjadi diri sendiri, tidak menanggapi pendapat orang lain. Adapula untuk menjadi egois untuk mementingkan diri sendiri karena ketika kita tidak bahagia, demikian pula orang lain. Lakukan sesuatu yang membuat bahagia, jangan pedulikan orang lain. Tentang mimpi, cobalah melakukan satu hal penting setiap harinya, jangan membandingkan tetapi berjuang bersama, teruslah berubah dengan mengambil peluang baru, tidak meragukan diri sendiri (selalu ada pintu lainnya). Teruslah belajar, jangan segan minta pertolongan, iyakan peluang yang membuatmu takut, tuliskan semuanya. Tentang cinta, maafkan dan lepaskan, bahwa itu tidak pernah sia-sia dan dunia akan memberikan lebih banyak, menjauhlah dari orang toxic, cintai diri sendiri, bahwa tidak semua orang menyukaimu, dan itu tidak melulu salahmu—memang seharusnya begitu. Tentang mindset, tetaplah open minded terhadap kesalahan, masa lalu bukan dilupakan tetapi menjadi pelajaran, pikirkan hal positif karena kita akan selalu mempercayainya. Itu semua terserah kita untuk menolak bahwa mereka tidak selalu benar, maafkan meski tak menerima maaf. Batasi sosial media dengan tujuan penting saja. We are more than we can imagine. We are worth it.





“Love is never wasted, for it’s value does not rest on reciprocity.” (C.S. Lewis)- hal. 81

“Stay away from people who make you feel like you are hard to love. Nobody deserves as much love from you, than yourself.”-hal. 89

“Opinions are opinions because they are subjective and not facts. Think about whether these people who cause your insecurity really add value to your life.”-hal. 133

“Don’t rely on tomorrow to get things done: there will be brand new distractions, and you might never get around to it.”139

“If it won’t bother you in 5 years, don’t let it bother you for 5 minutes.”-hal. 148

Menulis resensi buku self improvement jauh lebih kompleks dari yang kubayangkan. Namun, tentang Dear Tomorrow, kata yang paling tepat adalah sangat-sangat-sangat bagus. Aku menyukai bagaimana Maudy Ayunda berpikir. Dia tidak hanya menceritakan apa hasilnya, tapi juga apa yang dirasakannya. Kata-kata yang dituliskan dalam bahasa Inggris membuatku candu. Tentang mentidakpedulikan pendapat yang tidak membangun, mencintai kebebasan, mencintai tanpa imbalan, dan… Aku mengubah perspektif bahwa belajar dan membaca berita adalah kebiasaan baik. Aku jadi berhenti menyalahkan diriku sendiri atas segala penolakan dari orang lain. Pada saat tertentu, aku juga menjadi bodoh amat dan itu menyelamatkanku sekaligus menyelamatkan orang lain karena aku bisa berpikir lebih jernih. Memaafkan orang lain juga membuat masa lalu tidak sebegitu menyedihkan, tetapi perjalanan baik yang membentuk kita hingga saat ini. Mencintai pekerjaan dan membuat orang di sekeliling sebagai teman berjuang bukan musuh juga membuat hari menjadi lebih baik, hangat, dan hidup. Seperti Maudy Ayunda, aku mempunyai definisi sukses yang sama bahwa sukses ketika kita menemukan diri kita yang bahagia. Ini adalah tujuan dari pekerjaan, dari hidup yang dijalani.

              Tidak ada kritik berarti. Aku sama sekali tidak bisa berkata-kata betapa indah dan menginspirasi setiap kata-kata Maudy Ayunda. Aku mungkin lebih menyarankan untuk membuat kertasnya menjadi kertas majalah. Buku ini terlalu bagus dan setiap lembar layaknya polaroid yang penting. Foto-foto Maudy Ayunda yang berwarna membuat buku ini menjadi lebih hidup.

Buku ini sangat cocok untuk para remaja yang sedang melawan rasa insecure, mengalami banyak kegagalan, hari yang melelahkan, penolakan cinta, dan meraih mimpi—menjalani hal yang membuat bahagia.


Senin, 13 Juni 2022

Resensi Buku Master Your Focus karya Fachrina Khairunnisa

review and photo credited to @sherenal_

 

Judul: Master Your Focus

Penulis: Fachrina Khairunnisa

Penerbit: Psikologi Corner

Cetakan ke: 1

Tahun terbit: 2019

Tebal buku: 272 hal.

Genre: Self Improvement



 


“Kalau memang kita punya passion terhadap pekerjaan kita, mau kerja 10 sampai 12 jam sehari pun mungkin tidak jadi masalah.”-hal. 38

“Multitasking merupakan aktivitas yang bisa merusak otak hingga 40%.”-hal. 65

 

Fachrina Khairunnisa ialah perempuan kelahiran 1990 dengan gelar sarjana psikologi. Ia telah mengabadikan diri sebagai HRD di perusahaan swasta dan bekerja menjadi career coach, sering pula menjadi pembicara pada seminar ataupun workshop. Menulis digital adalah kegiatan freelance-nya. Aku tertarik dengan buku ini karena saat menjelang kelulusan SMA, ada banyak distraksi yang membuatku harus segera mengatasinya.

Pada daftar isi, terdiri dari 10 bagian. Mulai dari motivasi bekerja, jangan asal sibuk, kerja produktif, lebih dekat dengan fokus, merumuskan tujuan, kelebihan vs kelemahan, sukses adalah akumulasi kebiasaan, ke mana fokus terarahkan, bekerja dengan bahagia, dan kesimpulan. Ini menjawab untuk apa bekerja dan tidak semata untuk materi. Kerja bukanlah beban, hindarilah rutinitas, dan waspadai stres kerja. Mengajarkan betapa pentingnya mengatur waktu, mengatur fokus (jangan multitasking), tujuan jelas, bukan memperbaiki kelemahan (fokus ke kelebihan), kebiasaan positif mengurangi kebiasaan negatif, amanat dari kesulitan, bekerja dengan rasa bahagia, dan menjadikan semuanya seimbang.

Pertama kali membaca ini, kuakui sempat merasa bosan dan berhenti di tengah jalan. Namun, buku ini merangkum banyak sekali yang dikeluhkan para usia kerja. Ibarat sebuah ratusan webinar yang ada di dalam satu buku. Nilai pekerjaan bukan jatuh pada materinya, tapi sebetapa bermakna pekerjaan tersebut bagi pelakunya. Ada banyak sisipan trik yang tidak asing, seperti hierarki kebutuhan Abraham Maslow, Teknik Pomodoro, dan prioritas 4 kolom Aku cukup tersentil dengan perbedaan sok sibuk dan produktif. Jika kamu adalah orang yang mampu meluangkan waktu, selamat kamu punya prioritas yang baik. Jangan anggap pekerjaan sebagai beban, tetapi santai dan nikmatilah. Kita tidak bisa hidup seumur hidup untuk bekerja dengan penuh rasa lelah. Cobalah sesuatu yang baru karena stagnansi hanya membuat kita bosan. Di buku ini juga mengajarkan untuk disiplin dan tidak multitasking. Pukul 9-11 (kreativitas), pukul 11-2 (tugas sulit), pukul 3-6 (kolaborasi). Sisanya adalah menumbuhkan semangat dengan bercengkerama positif, bersantai, dan lainnya. Sikap yang baik juga mampu mengalahkan hard skill. Bekerja keras dan cerdaslah dengan tidak menjadi robot, tetapi dengan manusiawi dan stamina yang baik. Tentukan tujuan realistis, temukan passion yang membuatmu bersemangat, dan ketahuilah bahwa kesalahan masih bisa diperbaiki. Keterpurukkan membuat kita paham banyak hal. Ini bukanlah akhir.

Aku agak menyayangkan banyak hal pada buku ini karena sejujurnya ini bisa dikemas lebih baik lagi. Kalau dibuat hard cover, dengan penulisan lebih ringkas lagi, pasti bisa lebih keren lagi! Buku ini worth to buy banget ketimbang harus ikut kelas pengembangan diri yang mahal. Aku tidak menyangka ini adalah buku nonfiksi ringan karena dari sampulnya ada kesan serius. Meskipun begitu, buku dengan ilustrasi, layout, dan kutipan yang sangat banyak juga patut diberi apresiasi.

Buku ini sangat direkomendasikan untuk kalian yang punya jadwal berantakan, selalu stres, dan sedang mencoba lebih produktif nan bahagia untuk punya buku ini. Tambahan, buku self improvement tidak akan jadi apa-apa jika kita tidak melakukan apa-apa. So make sure kalian yang baca buku ini baca atau praktek berulang-ulang untuk merubah bagian yang masih perlu diperbaiki.

Sabtu, 26 Maret 2022

Resensi Novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye

 review and photo credited to @sherenal_


Judul: Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Penulis: Tere Liye

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan ke: 27

Tahun terbit: 2016

Tebal buku: 264 hal.

Genre: Fiksi umum

 





    “Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah ke mana.”-hal. 197

 

    Tere Liye adalah penulis best seller di Indonesia. Karya lainnya antara lain Ayahku Bukan Pembohong, Kau Aku dan Sepucuk Angpau Merah, Negeri Para Bedebah dan Lainnya. Buku Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin adalah novel pertama yang kumiliki, saat masih berada di kelas 1 SMP.  Novel ini telah cetak dan berganti sampul, masih banyak peminatnya.

 

    Novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin memiliki sudut pandang orang pertama. Judul setiap babnya ditulis dari hitungan waktu 20.00 hingga keesokannya 09.00. Waktu di mana Tania menyelesaikan semuanya. Penulisan Tere Liye baku, tetapi informal pada percakapan. Disisipi pula suara hati. Disisipi pula elipsis dan kurung dua untuk memberi penekanan bacaan dan makna. Tere Liye memiliki gaya bahasa yang khas, dengan riset dan detail latar tempat.

 

    Ini semua bermula ketika Tania dan Dede, adiknya yang putus sekolah mengamen sepanjang hari untuk mengumpulkan uang. Ibunya saat itu sedang sakit-sakitan. Awalnya kaki Tania tertusuk paku, kemudian Om Danar mengobati Tania. Hari kemudian, Om Danar membelikan alas kaki untuk Tania dan Dede. Saat itu usia Tania 11 tahun, Dede 6 tahun, dan Om Danar 25 tahun. Setelah itu, Om Danar mengajak Dede dan Tania berjalan-jalan di toko buku—tempat paling penting Tania. Tempat untuk melihat ke luar kaca, berdiam diri. Om Danar kemudian sering membelikan Dede Lego, membantu pengobatan ibu Tania, menyekolahkan, dan mengajak Dede Tania mengikuti kelas mendongengnya. Ibu Tania kemudian menjual kue, hingga berkembang dan mempekerjakan beberapa karyawan—lanjut mengontrakkan rumah. Namun, ibu Tania jatuh sakit, didiagnosis terkena kanker.

    Tania melanjutkan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Akhir-nya di Singapura, berkat ASEAN Scholarship. Saking cerdasnya, ia menjadi urutan paling awal di sana, ditemani Anne yang mengetahui kebiasaan Tania membalas e-mail dari Om Danar dan Dede. Bagi Anne, itu sama sekali tidak mungkin orang yang usianya terpaut jauh 14 tahun disukai oleh Tania. Padahal, banyak yang suka Tania, seperti laki-laki dari di Toko Buku dan teman-temannya di Singapura yang tak selalu mengikutinya. Ketika Tania pulang, ia membelikan adiknya lego yang cepat sekali selesainya. Om Danar menghadiahi liontin kepada Tania. Kondisi semakin runyam ketika Om Danar memutuskan untuk menikah dengan Ratna, tepat setelah mereka berempat bertemu sebelum Sekolah Menengah Akhir, barang untuk makan bebek. Tempat Tania perlahan, kemudian sempurna teralih. Masalah tidak sampai situ saja, hingga akhirnya Dede mengungkap bahwa Liontin dan cerita di laptop Om Danar membuktikan ada yang salah pengertian dari Tania selama ini. Membuat semuanya sukar dipahami dan memilukan di akhir.

    Bagiku, novel ini sangat berharga. Novel ini bahkan menginspirasiku untuk menulis novel fiksi umum  dengan sistem amati-tiru-modifikasi, meskipun belum sebaik Tere Liye. Banyak sekali plot twist seperti penulis buku dari maibelopah (Om Danar). Banyak pula bagian yang mengharukan, seperti bab 20.15. Di pertengahan novel, disisipi chat yang lucu. Aku tidak tahu betapa indah dan menyedihkan Tania dan Danar ini, terutama saat Tania diantar temannya, menemui Om Danar bersama Ratna. Penulisan Tere Liye yang rapi dan mengalir membuat pembaca merasakan tokohnya dengan baik, tidak memaksakan. Background penjelasan detail bisa dilihat pada bagaimana Tania teringat pada sulitnya menjadi pengamen saat di warung makan bertemu dengan teman mengamennya. Om Danar yang sempurna dan hebat di berbagai bidang, pecinta anak kecil. Tania yang cerdas dan berubah karakternya ketika banyak yang menyakitinya—tetap baik. Dede yang menjadi sumber humor di cerita ini. Ratna yang sabar dan pengertian. Anne yang rasional, setia menemani Tania.

    Agak disayangkan, jika membaca terlalu detail, pada pertengahan halaman terdapat spoiler yang membuatku sadar bagaimana ending ini berakhir, walaupun tidak sempurna sesuai tebakanku. Aku kagum banget sama Om Danar. Jadi orang dewasa, cerdas, penuh kasih sayang, menjadi pendengar yang baik, tetapi kuakui dia bodoh dalam urusannya dengan Tania. Meskipun begitu, alur novel ini tidak pasaran, bahkan unik sekali. Di mana pohon linden depan rumah kardus menjadi saksi dua sosok hebat yang mempunyai benang merah—hubungan rumit.

    Novel ini sangat cocok untuk kalian yang sedang berjuang untuk merubah nasib. Cocok pula untuk yang punya percintaan dengan usia terpaut jauh. Kisah Tere Liye memberikan amanat mendalam. Bahwa daun yang jatuh tak pernah membenci angin mengajarkan sesuatu bahwa kepergian seseorang memberikan penerimaan, pemahaman, dan pengertian. Bukan karena tak sayang lagi, tetapi memang seharusnya begitu.

 

 

 

 

 


Sabtu, 12 Maret 2022

Resensi Novel Hatiku Memilihmu Karya Arumi E

review and photo credited to @sherenal_


Judul: Hatiku Memilihmu

Penulis: Arumi E

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan ke: 2

Tahun terbit: 2016

Tebal buku: 245 hal.

Genre: Romance

 



    “Bagi orang yang tidak paham, mungkin kegiatan shalat yang menginterupsi pekerjaan dianggap memanfaatkan waktu efektif kerja. Namun, konsentrasi dan fokusnya dalam bekerja seolah-olah terbarukan setelah jeda sepuluh menit untuk shalat wajib.”

 

    Arumi E adalah penulis kelahiran Jakarta. Salah satu karyanya telah difilmkan berjudul Merindu Cahaya de Amstel. Ia mempunyai harapan untuk mengunjungi latar tempat yang ada di novel-novelnya. Awal aku membeli novel ini karena sampul bukunya cantik dan latar tempat luar negeri menarik banget!

 

    Novel ini ditulis dari prolog hingga epilog, mempunyai alur maju, dengan sudut pandang orang ketiga. Disisipkan kutipan cerita berkesan sebelum paragraf dimulai. Penulisannya formal dan mengalir. Dengan latar belakang Amerika dan Jakarta, ada suasana salju-taman-komunitas islam, serta tempat khas-kental budaya yang ada di Jakarta (Betawi).

 

    Novel Hatiku Memilihmu diawali dengan Dara Paramitha, lulusan Universitas Columbia, New York yang harus meninggalkan temannya: Keira dan Aisyah. Ia juga harus meninggalkan Brad dan Richard, dua sosok lelaki yang menyukainya. Brad sering bertemu dengan Dara di tempat umum karena bukan mahram dan meskipun sama-sama menyukai, mereka masih belum resmi. Dara merasa harus bertanggung jawab pada ayahnya, Narendra, mengabdi di kantornya, negaranya. Sedangkan Brad sendiri sebagai pianis modern-klasik sekiranya mudah dan tengah berkontrak untuk bekerja di Amerika. Baru awal bekerja, ternyata Richard menyusul Dara dengan bekerja di kantor Narendra. Meskipun gajinya lebih sedikit dengan tempat tidak seluas Amerika, pria cerdas itu diterima dengan lapang. Brad yang mengetahuinya seketika turut ingin menyusul. Di sinilah Brad nanti diajak berkeliling Jakarta, seperti Museum Fatahillah, Museum Wayang, makan soto Betawi, dan tak heran ada konflik dengan Richard. Di sisi lain, Richard memiliki rekan bernama Chatlea Rumi. Lea awalnya jarang shalat, tak pernah puasa, bertemu Richard yang mualaf dan terpaksa jika bersama Richard. Richard disambut hangat ketika bulan idul fitri dan diajak berkeliling takbiran. Lea perlahan kagum dengan Richard. Ia sering bersinggungan kerja dengan Richard, bahkan hingga larut malam. Richard juga mengajaknya untuk melakukan bakti sosial di tempat kumuh di Jakarta. Lea berubah dengan bangun pagi dan mengutamakan shalat, yang dinaungi berkat Richard. Di lain sisi, Richard tetap mengejar Dara mengetahui Brad tidak menunjukkan kepastian menikahi Dara.

    Buku ini dinilai sangat ringan, dapat selesai sekali duduk. Namun, membaca ini untuk kedua kalinya, membuatku tersadar betapa hebatnya perusahaan Narendra yang mengutamakan shalat. Bahkan, meskipun sedang rapat di mana ketuanya sangat galak, ia menjadi lunak jika ada yang izin shalat. Meskipun tokoh utamanya Brad dan Dara, tetapi Arumi E mampu menyisipkan kisah Lea dan Richard yang menggugah hati. Bagaimana Richard mengajarkan untuk mempunyai hidup seimbang—tidak hanya bekerja, ia taat beragama dan menjadi lebih hidup dengan membantu orang lain. Lea yang hijrah tentu menjadi sorotan bagi pembaca. Bagaimana Dara dan Brad menjaga jarak juga patut diacungi jempol. Brad yang mampu menjaga kesetiaannya dari Kathryn, dan Dara yang menjadi perempuan independen, taat pada orang tua. Bukan hanya sampul yang bagus, buku ini memberikan makna bahwa menjadi islam juga tidak meninggalkan kecerdasan atau karakter baik yang dibawa. Perjuangan mualaf sesungguhnya tak pernah mudah, terlebih di Amerika yang menjadi momok untuk disalahkan atau bahkan, dalam pertemanan, agama menjadi penghalang, yang padahal Islam menjadikan seseorang tobat dan meluruskan banyak hal.

 

    Meskipun begitu, novel ini akan lebih baik jika diselipi banyak unsur keagamaan, mengetahui sebenarnya kisah Brad dan Dara dapat lebih pelik lagi. Aku cukup kagum dengan Arumi E yang dadapat memasukan unsur Amerika yang tentunya membutuhnya riset yang banyak.  Ini semua tergantung selera. Sejauh ini, novel ini memberikan makna dari cara penyampaian cerita yang ringan.

 

    Novel ini aku peruntukan untuk orang mualaf, LDR, atau bahkan cinta terhalang agama. Bisa juga untuk orang yang mau dekat lagi dengan islam. Arumi E menyisipkan kisah mengharukan, tentang bagaimana agama menempatkan posisi perempuan tinggi, mempunyai kehidupan yang baik dan lebih hangat.


Jumat, 18 Februari 2022

Resensi Buku Sapiens karya Yuval Noah Harari

 Resensi Buku Sapiens

photo and review credited to @sherenal_

 




Judul: Sapiens: Riwayat Singkat Manusia

Penulis: Yuval Noah Harari

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Cetakan ke: 21

Tahun terbit: 2021

Tebal buku: 525 hal.

Genre: Sejarah—Nonfiksi

 “Homo Sapiens memegang rekor di antara semua organisme karena telah mendorong sebagian besar spesies tumbuhan dan hewan menuju kepunahan. Kita berprestasi mengerikan sebagai spesies paling mematikan dalam tarikh biologi.”-hal.89

“Antara orang berkulit hitam dan orang berkulit putih memang ada sejumlah perbedaan biologis objektif, seperti warna kulit dan jenis rambut, tetapi tidak ada bukti bahwa perbedaan-perbedaan itu membentang sampai ke kecerdasan atau moralitas.”-hal.161

“Dunia modern pun gagal menyelaraskan kemerdekaan dan kesetaraan. Namun, itu bukanlah suatu cacat. Kontradiksi-kontradiksi tersebut merupakan mesin pembangun kebudayaan, yang melahirkan kreativitas dan dinamisme spesies kita. Seandainya orang tidak bisa memegang kepercayaan dan nilai yang kontradiktif, barangkali mustahil mendirikan dan mempertahankan kebudayaan manusia mana pun.”-hal.196

“Orang-orang yang mencapai nirwana terbebaskan sepenuhnya dari segala penderitaan. Walaupun masih sangat mungkin menjumpai hal-hal tidak menyenangkan dan menyakitkan, pengalaman-pengalaman semacam itu tidak menyebabkan mereka sengsara. Orang yang tidak menginginkan, tidak bisa menderita.”-hal.268

“Kebanyakan orang tidak menghargai betapa damainya era kita hidup sekarang. Tak seorang pun di antara kita yang hidup seribu tahun lalu, sehingga kita mudah lupa betapa jauh lebih bengisnya dunia dahulu.”-hal.438

 “Hidup yang bermakna dapat luar biasa memuaskan bahkan di tengah kesusahan, sementara hidup yang tidak bermakna adalah siksaan berat tidak peduli betapapun nyamannya.”-hal.468





Yuval Noah Harari adalah sejarawan Israel yang bekerja sebagai profesor di Departemen Sejarah Universitas Ibrani Yerusalem. Karya lainnya yang dikenal, seperti Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia dan 21 Adab untuk Abad 21. Karya Yuval Noah Harari sendiri masuk ke kategori best seller, bahkan dibuat dalam suatu komik.

Seperti jurnal akademik, buku ini menggunakan bahasa baku-formal dan tentu saja diterjemahkan dengan bahasa yang sekiranya dapat dipahami dari versi bahasa asing sebelumnya. Terdiri dari empat bab utama: Revolusi Kognitif, Revolusi Pertanian, Pemersatuan Umat Manusia, dan Revolusi Sains. Akan ditemukan gambar-gambar pendukung mengenai sejarah yang diungkapkan, seperti homo sapiens, peta, hewan, grafik, tabel, bahkan presiden atau orang penting juga diinput. Yuval Noah Harari membubuhi banyak data kuantitatif, seperti angka dan daerah spesifik beserta nama-nama orang penting sepanjang sejarah. Pada sub bab terdapat spasi mencolok dan paragraf baru dengan topik yang dibahas sebagai penegasan.

Buku ini bisa saja digandrungi dengan harga yang luar biasa mahal, sebab ilmu di dalamnya langka. Pemaparan Yuval Noah Harari tanpa segan-segan menjabarkan apa yang ada di pikirannya, apa yang harus kita termasuk pembaca lakukan, ia berusaha menjawab segala pertanyaan tentang dunia manusia maupun semesta, semua hal yang terjadi dan jadi perbincangan ilmuwan atau guru besar sekalipun. Menjelaskan tentang ketermulaan hewan/kera menjadi manusia, bagaimana manusia purba hidup, berbudaya, berkelompok, belajar, dan membunuh untuk kepentingannya. Kemudian beralih pada bagaimana mereka bercocok tanam, apa yang dikorbankan masyarakat selama ini. Berlanjut pada keunggulan uang, imperium, dan agama dalam kesuksesan manusia selama ini. Diakhiri dengan industri dan sains yang dampaknya kita nikmati sekarang.

Banyak sekali kelebihan, terutama pada pengetahuan entah itu dewa-dewi atau kebudayaan di seluruh penjuru dunia, bagaimana ada masa-masa khusus, seperti era terbentuknya bumi, hewan, munculnya manusia, revolusi kognitif, pertanian, imperium, dan sains. Aku cukup menyadari bahwa Indonesia disebut berkali-kali, beserta kebudayaan Asia maupun sejarah Eropa-Amerika tanpa ditutupi menunjukkan bagusnya kredibilitas menulis apa adanya. Sebagai anak sosial humaniora, buku ini membahas geografi, sejarah, sosiologi, ekonomi, atau mau ditambahi fisika, biologi, dan matematika juga masuk, tetapi dijelaskan secara garis besar dan mudah dipahami. Ilmu tentang waktu/perabadan, wilayah, paham atau ideologi, hewan purba: diprotodon, galapagos, mastodon, wombat, mamut, kemudian segala filsafat bagaimana manusia memulai peradaban dan menciptakan era yang bisa serba kapitalis, liberalis, imperialis, walaupun tidak akan pernah ada kebebasan dan kesetaraan di waktu yang sama. Segala hal yang tidak muncul dalam buku sejarah pada umumnya, pembagian sub-bab baik supaya lebih nyaman dibaca, sampul buku terlihat saintifik, ringkasan era, data, dan pembatas buku, betapa berharganya buku ini.

 




Jika membaca resensiku buku ini cukup pusing dan menarik, itu benar. Sayangnya, buku terjemahan akan selalu punya titik tidak nyamannya, di mana materi berat akan makin berat, sebab ada kalimat yang bertele-tele, kemudian penggunaan konjungsi tidak pas, dan pada suatu halaman tidak bisa ditemukan korelasi yang membuat kepalaku berusaha membaca ulang dari awal lagi supaya tidak setengah-setengah. Meskipun begitu, buku ini telah memberikanku banyak sudut pandang baru, walaupun tidak begitu hafal dan bisa amnesia keluar masuk telinga, aku yakin sense of “iya pernah dengar” bisa membantu untuk akademik maupun karir karena buku ini cukup kompleks, bukan hanya tentang sejarah saja.

 

Mengetahui libur dua bulan kemarin, aku mendedikasikan diri untuk membaca buku berat supaya otakku tidak kosong dan mau berpikir. Aku sempat terjebak dengan resensi lain yang katanya banyak membahas kesetaraan gender, padahal itu adalah satu dari sekian banyaknya informasi penting. Selayaknya buku filsafat, kuatkan hati saat membaca bagian agama atau kepercayaan walaupun kita sudah termasuk sinkretisme selama ini. Buku ini akan menambah pengetahuan, ditambah sambil googling atau lihat youtube karena penasaran. Pengetahuan yang tidak ada batasnya, bahwa kita baru sebentar hidup, masih banyak yang belum diketahui.