Pages

Rabu, 26 Mei 2021

Resensi Novel The Coldest Boyfriend karya Itsfiyawn

 



--photo n review credited to @sherenal


Judul: The Coldest Boyfriend

Pengarang: Itsfiyawn

Penerbit: Melvana

Tahun Terbit: Mei 2017

Cetakan ke: 8

Tebal buku: 392 hal.

 

“Hidup itu bukan seberapa berat cobaan yang kamu alami, tapi seberapa tegar kamu menghadapi dan seberapa pintar kamu mengambil hikmah.”-hal. 218

 

Fiatuzzahro atau dikenal dengan username itsfiyawn adalah penulis wattpad terkenal dari Jakarta. Karyanya telah dibaca jutaan pembaca. Novel bergenre fiksi remaja ini merupakan bacaan ringan yang bisa merelakskan atau penghambur waktu yang baik untuk me time.

 

Penulisannya menggunakan sudut pandang ganda dan bahasa keseharian remaja sehingga mudah dipahami dan ceritanya mengalir untuk kategori hampir 400 halaman. Perasaanku membaca ini juga cenderung gemas sebab sudah jarang sekali membaca novel bucin. Tentunya novel ini punya ciri khas novel dambaan yang mana tokohnya keren-keren. Poin pokoknya judulnya sesuai dengan isinya, tokohnya kuat, dan sesuai dengan keseharian anak muda pada umumnya—family, friends, love, school, cafĂ©.

 

“Aku sudah terlanjur jatuh, Sena. Aku sudah membeku dalam kurun waktu cukup lama di kastil esmu. Sinarku belum cukup mampu melelehkan dinginnya kamu, tapi aku terus berusaha.”-hal. 128

 

Ini tentang Kenarya Hechira yang dipertemukan dengan Sena Putra Dirmaga secara tiba-tiba, dan Kena kena love first sight pada sosok dingin itu. Kena adalah ketua PMR dan gadis yang disukai banyak lelaki, Sena adalah cowok dingin anak mading bawahan Arin (teman sebangkunya Kena). Selain bermusuhan dengan Vanya—yang suka dengan Sena, Kena juga harus berjuang untuk mendapatkan Sena sekalian taruhan dengan Arin agar ketua mading itu makan durian. Sikap Sena ternyata bukan tanpa alasan. Dia belum memaafkan masa lalunya yang kehilangan mamanya dan sakit hati akan papanya saat kecil itu ia sibuk sendiri. Saking peliknya, bahkan walaupun Sena dan Kena sama-sama suka, keduanya terkena masalah lebih besar lagi, yang mengakibatkan Sena menyerah nan merasa tak pantas, dan Kena yang lelah mengerti pula mengejar.

 

Novel ini dari awal sudah seru, apalagi menjelang konflik dan ending yang membuat napas pembaca naik turun. Tidak ditemukan salah kata, ada beberapa kutipan spoiler per partnya. Aku suka banget pas cowok dingin kayak Sena bisa periang saat Bersama Kena—hal yang ditunggu pembaca. Friendship atau lebih tepatnya couple date antara Sena-Kena dan Rio-Arin dan kehidupan mereka sebagai anak remaja sangat relate mengingat aku baru lulus SMA. Masalah Sena tentang mental health juga bisa dikatakan membuat novel ini semakin ramai, pula masalah lainnya memberi aware tersendiri terhadap pembaca.

 

Sebagai anak yang pernah SMA, alur di novel The Coldest Boyfriend sangat jarang ditemukan. Realistis saja, ada beberapa yang kurang logis dan tiba-tiba sehingga ada di beberapa bagian stres merealitakannya (mungkin aku saja yang over reacted). Sudut pandang yang beragam juga sulit membuatku konsen. Adapula sikap Sena yang cenderung childish dan Kena yang terlalu sabar membuatku pengin ketemu tokohnya langsung untuk menceramahi. Namun, kekurangan tersebut tertutupi dengan permasalahannya yang pelik sampai cepat kuselesaikan saking menariknya.

 

Rekomendasi untuk anak SMP maupun SMA. Pasti sangat suka dengan novel yang bikin baper ini. Bahkan orang tua yang pengin belajar perasaan anak muda—susah dimengerti juga bisa baca. Novel ini ternyata juga ada sekuelnya judulnya “If I Can’t”. Secara keseluruhan, aku lumayan suka dan dari novel ini pula spoiler sekuelnya, aku sadar bahwa kita lambat laun dewasa. Setidaknya, masa muda yang berlika-liku itu bisa jadi kenangan indah dan hikmah kehidupan kita.


Sabtu, 24 April 2021

Resensi Novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye

 RESENSI NOVEL HAFALAN SHALAT DELISA

by sherenal_

 




Judul: Hafalan Shalat Delisa

Nama penulis: Tere Liye

Penerbit: Republika

Tahun terbit: 2016

Cetakan ke: 27

Tebal buku: 266 hal.

 

“Jangan pernah lihat hadiah dari bentuknya, lihat dari niatnya insyaAllah hadiahnya terasa lebih indah. Ah iya, Ustadz Rahman juga pernah bilang: kita belajar shalat hadiahnya nggak sebanding dengan kalung, hadiahnya sebanding dengan surga.”-hal. 33

 

Tere Liye adalah penulis best seller terkenal di Indonesia, bahkan banyak karyanya sudah di-film-kan—mencapai jutaan penonton pula, salah satunya Hafalan Shalat Delisa. Novel ini mengingatkanku pada buku pertama yang kupunya “Daun yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin”. Sama-sama memilukan dan tentunya relate akan hal kekeluargaan.

 

Aku tak habis pikir dengan cara dia menuliskan semuanya sebegitu mengalir. Tidak ada paksaan, runtut, kisah Delisa ini tidak kecepatan maupun bertele-tele/lambat. Pas. Sudut pandang Delisa di sini lucu sekali, ketikannya meliputi intonasi anak kecil sehingga pembaca turut gemas. Tere Liye menuliskannya seolah ia ada di kejadian Tsunami Aceh yang gempar belasan tahun itu, persisten, penuh penghayatan kuat sehingga perasaan kacau-bahagia tokoh-tokoh di dalamnya amat terasa.

 

Delisa adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Kakaknya Fatimah (usia 15 tahun), Zahra dan Aisyah (12 tahun—anak kembar). Delisa susah bangun subuh, ia juga kesulitan menghafal bacaan shalat walaupun sudah ada jembatan keledai dari Kak Aisyah yang suka menjahilinya. Demi seuntai kalung D untuk Delisa dari Ummi, pula sepeda dari Abi, Delisa ingin bisa hafal, khususnya saat penilaian shalat itu tiba. Namun, 26 Desember 2004 tsunami meluluhlantakkan kota Lhok Nga, Aceh tempat mereka tinggal. Abi yang bekerja di kapal asing seketika bergegas pulang, penduduk dan kota itu rata. Delisa hanya ingin shalatnya sempurna, tanpa terbalik-balik, bahkan saat sujud di penilaian shalat, ia turut hanyut menyisakan kenangan indah di otaknya yang tak pernah kembali.

 

Sampul bukunya bagus sekali, mencerminkan keluarga Delisa yang lengkap dan gugur. Kisahnya penuh riset nan detail, bahkan tokoh figuran seperti ibu-ibu di samping Delisa di rumah sakit bisa membuat pembaca turut tersedu sedan. Sungguh setelah kesulitan akan ada kemudahan. Itu Janji Allah, maha pemegang janji. Kejadian Abi menangis di tahajud dan Delisa yang berbicara di makam saudaranya ngilunya tak tertahankan. Aku sempat bertanya kenapa bencana datang di kota yang religius itu. Faktanya, kejadian ini jadi hidayah orang sekitarnya: Prajurit Salam dan Kak Shofi yang sebelumnya tak bisa memaafkan kehilangan. Hikmah bahwa manusia trahnya tak pernah sendiri. Ada ribuan malaikat yang menyaksikan ketulusan kita. Ada Allah yang maha pengasih pula pemaaf. Dalam karakternya, kedewasaan dan rasa ikhlas anak kecil bermata hijau (Delisa) ini membuatku malu. Ia lebih cepat menerima ketimbang Ummam bahkan abinya sekalipun.

 

Aku hanya sedikit terganggu dengan  footnote yang berisi reaksi atas cerita yang sedang seru-serunya. Walaupun ada beberapa typo, karya ini tetap hebat. Bahkan saking berisi/menginspirasi aku suatu hari ingin membacanya ulang. Kejadian serupa mukjizat mungkin terkesan kurang logis, tetapi seiring waktu hal tersebut justru jadi hal lebih, menjadikan cerita tak terlupakan, menyadarkan bahwa kita tidak pernah memiliki diri kita sendiri, tetapi kepunyaan Allah. Sesungguhnya semua musibah ini juga sesuai kemampuan hambanya dan Delisa memahami itu.

Senin, 21 September 2020

Resensi Novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata

 Resensi Novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata

resensi & photo credit by @sherenal





Judul: Sirkus Pohon

Pengarang: Andrea Hirata

Penerbit: Bentang Pustaka

Cetakan ke: 1

Tahun terbit: Agustus 2017

Tebal buku: 410 hal.

Genre: Fiksi umum

 

 “Dan tak ada yang lebih menyenangkan daripada berdekatan dengan orang-orang yang punya mimpi besar” -hal 71

 

Dua buku yang kupunya karya Andrea Hirata, Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas, yang mana di novel kali ini baru kusadari bahwa karya Andrea Hirata bukan sepenuhnya berat dan susah dipahami. Justru logat yang khas ini membuat cerita lebih estetis dan memang sudah sepatutnya mendapat penghargaan hingga jadi penulis terbaik se-Asia Tenggara.

 

Andrea Hirata sendiri menyelipkan bahasa melayu sebagai pengenalan budaya. Kata-kata yang digunakan kurasa langsung dari pembawaannya sepenuhnya, seperti pada umumnya “bertemu”, maka ia menuliskan “berjumpa”. Kata “oke”, jadi “ojeh.” Jika dipikir-pikir, pengulangan atau kebebasan pengungkapan Andrea Hirata yang bukan terkesan keterangan singkat punya kesan unik. Tidak ditemukan salah ketik, bahkan 5 bab yang terdiri dari 87 part membuat pembaca dapat masuk ke kalangan rakyat itu sendiri. Menemukan kilas-balik rakyat yang wilayah nun jauh di sana.

 

Ada beberapa tokoh utama yang menjadi sub poin berkaitan. Tentang Sobrinuddin panggilannya Hob si pekerja keras yang tak punya kerja tetap karena belum lulus SMP saja sudah dikeluarkan sebab sahabatnya Taripol. Tara juga Tegar yang saling terbayang sejak bertemu di pengadilan agama, taman bermain. Masalahnya kompleks, hubungannya dengan sirkus, si Hob punya kerja tetap jadi badut dan ingin menikahi Dinda (si penyuka delima), dan Tara beserta Tegar yang menemukan satu sama lain dengan cara masing-masing, entah 120 lukisan Tara untuk “Si Pembela” dan Tegar jadi mencari-cari gadis bau vanili. Hingga sirkus bangkrut tiba-tiba, Dinda yang hilang ingatan kata dukun karena delima nan akan meninggal, dan Tegar pula Tara yang berusaha realistis karena tidak pernah berjumpa satu sama lain hingga usia-nya 17 tahun.

 

Novel ini mengagumkan, bisa dibaca berulang kali karena kosakatanya yang sulit ditemukan di karangan penulis lainnya. Kisahnya anti-mainstream, kesederhanaan yang dibawa Andrea Hirata pada novel ini justru membawa khas sendiri sebagai rakyat Indonesia. Mulai dari kelumrahan dalam berita buruk/baik, Sifat pasrah, bodoh, atau kemenangan realistis masyarakat di sana, maupun dukun yang dianggap berpengaruh. Sesuatu yang menegangkan jika kesulitan pemahaman bahasa bisa dihindari. Sirkus pohon menceritakan lika-liku masyarakat yang tak ubahnya manusia penuh masalah.

 

“Bangun pagi, let’s go!”-Hob

 

Rating: 4.2 /5


Resensi Novel Recalling The Memory karya Sheva

Resensi Novel Recalling The Memory karya Sheva

resensi & photo credit by @sherenal



Judul: Recalling the Memory

Pengarang: Sheva

Penerbit: Penerbit Bental Belia (PT Bentang Pustaka)

Cetakan ke: 1

Tahun terbit: 2017

Tebal buku: 264 hal.

Genre: Teenfiksi

 

 “Setiap orang beda-beda, Sof. Kalau lo bilang gue tuts putih, lo tuts hitam, atau gue Midas dan lainnya itu, lo nggak akan lihat diri lo sendiri sebenarnya kayak apa. Lo hanya melihat ke gue dan yang lain, tapi tidak ke diri lo.” Romi, hal 100.

 

Awal beli buku ini karena tahun 2019 marak banget series belia writing marathon di wattpad. Series terbarunya saat itu juga aku ikut ngevote. Tapi, karena penasaran dan belum punya buku series apa pun karena kupikir bisa dibaca online, akhirnya beli juga. Sheva sendiri sebagai penulis sudah menerbitkan dua buku sebelumnya, yang salah satunya berjudul Memorabilia dan beberapa kejadian lumayan nyambung dengan cerita ini.

 

Dalam penyampaiannya, banyak banget narasi dibandingkan percakapannya. Penjelasannya didasarkan tahun yang mana ketahuan bahwa novel ini akan ada lintas waktu dari flashback yang cukup jauh, yaitu 8 tahun dari 2008. Aku seperti menemukan diri sendiri karena keperfeksionisan penulis spontan memberikan rasa de javu.

 

Aku ngebaca ini lumayan netral dan nyicil se-part satu hari dulu saat kelas 11 masa saat baca novel diam-diam ke kelas, sampai sharing ke teman. Yang paling mencolok adalah motivasi untuk selalu just do it. Adapula tentang pilihan yang kita tidak suka tapi harus dipilih, akhirnya akan jatuh ke keterpaksaan akan minat yang membuat semua jadi tidak begitu menyenangkan.

 

Ini tentang Sofia yang suka bermain piano di sekolah dan akhirnya bertemu dengan seorang Romi. Ayahnya ingin Sofia meneruskan firma hukumnya dan fokus les bahasa Belanda, bukan piano. Romi dan Sofia akan mendaftarkan diri dalam beasiswa eklusif four hands ke Juilliard, NYC. Mereka latihan bersama setiap pagi, sampai punya lika-liku tentang pacar Romi (Kikan) yang ketahuan bersama laki-laki lain. Lalu permasalahan muncul lagi ketika ayah Sofia jatuh sakit-sakitan serta piano di rumahnya yang dibuang, membuat Sofia harus memilih antara jurusan hukum di Belanda atau beasiswa piano bersama Romi yang dia sukai.

 

Bagusnya buku ini adalah pengetahuan tentang lagu-lagu piano. Istilah di buku ini juga bukan asal sebut, tetapi ada riset juga. “Great minds think alike” karena sepatu converse mereka yang samaan terus, intinya sesuatu yang logis dan berkelas. Herannya tiga kali di bagian terakhir aku lumayan sedih, dan tentu saja ada plot twistnya. Kekurangannya hanya sedikit membosankan jika dibaca sepenggal-penggal apalagi pas dibaca di kelas dulu campur aduk sama materi pelajaran. Baca momen terakhir yang tertunda di rumah jadi penutup buku Recalling the Memori paling baik.

 

I highly recommended buat yang suka sama hal berbau piano, kalian pasti auto connect. Untuk anak SMP atau SMA yang pusing milih kesukaan, kerumitan yang ada di dalamnya juga relate. Siap-siap catatan untuk mencatat motivasi yang munculnya bisa belasan kali atau lebih. Buku ini indah walau bukan tentang kerajaan, but that’s that I could expose.

 

Rate: 4/5

 


Minggu, 19 Juli 2020

Resensi Novel Ceroz dan Batozar karya Tere Liye

 


--photo and review credited to @sherenal


Judul: Ceros dan Batozar

Pengarang: Tere Liye

Penerbit: Gramedia

Cetakan ke: 2

Tahun terbit: 2018

Kategori: Fiksi Ilmiah

 

“Semua pertikaian antara pemilik kekuatan dan orang-orang biasa hanyalah kedok, topeng. Sejatinya itu hanyalah perebutan kekuasaan. Politik. Ambisi orang-orang yang ingin berkuasa. Kebencian, prasangka antara pemilik kekuatan dan orang-orang biasa sengaja mereka jadikan alat agar mereka bisa berkuasa. Penuh pencitraan, penuh kebohongan.”-hal 273

 

Siapa yang tidak kenal sosok Tere Liye. Ia adalah penulis terkenal di Indonesia, bahkan menyebut namanya saja kita dapat menyebutkan berbagai macam karyanya. Buku Ceroz dan Batozar ini adalah karya kedua Tere Liye yang kupunya setelah Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Aku sempat membaca sedikit novel “Bintang” di perpustakaan sekolah dan hendak membeli offline, tapi hanya ada serial Ceroz dan Batozar, juga Komet. Karena kesamaan sampul dengan Bintang, aku pun membeli versi 4.5 ini.

 

Dulu, menurutku karya Tere Liye punya pemikiran terlalu berat, ternyata ini dibilang cukup untuk jadi pemikiran kritis para remaja. Tere Liye tidak pernah tergesa-gesa dalam menuliskan semuanya, sehingga runtut, bahkan sulit menemukan celah di mana suatu topik ada yang terlupakan atau plot hole. Sistematis. Setelah selesai membaca novel “Hujan” kemudian membaca “Ceroz dan Batozar” aku tidak begitu heran jika semuanya dituliskan secara fantastis. Aku berusaha mencari kata atau kalimat yang membuatku terus-menerus ketagihan tanpa memikirkan satu pun kesalahan. Penjelasan fisik, karakter, dialog, aksi, Tere Liye punya gaya kepenulisan yang saling melengkapi.

 

Sesuai judulnya, ini bercerita tentang sosok Ceros (badak) yang sebenarnya seorang manusia kembar: Ngglaggeram dan Ngglanggeran. Ada tiga tokoh yang jadi karakter dalam serinya, yaitu Ali, Seli, dan Raib. Mereka sedang ada study tour ke museum, lalu ILY atau kapsul milik Ali sang Jenius berdesing dan membawa mereka menemui Ceros, hingga tidak bisa keluar dan berkemungkinan terjebak selamanya. Kemudian kisah kedua yang berkelanjutan setelah Ceros ada Batozar yang kabur setelah beratus tahun dipenjara kabur ke bumi. Tanpa sadar, ketiga tokoh inilah yang menjadi poin penting Klan Bulan menemukan buronannya. Di sini, tokoh Raib menjadi tokoh paling didambakan kekuatannya karena dia keturunan murni yang dapat berbicara dengan alam, hingga ada perselisihan dengan Batozar dan Klan Bulan (terus memburunya), hingga ketiga anak enam belas tahun itu diculik dan kisah menyenangkan dan pilu dimulai.

 

Wow. Itu adalah kata yang tepat saat membacanya. Selain penulisannya yang sistematis tadi, segala ide teknologi terungkap di sini. Tentang makanan yang dibuat tanpa mesin dan jadi sendiri, kendaraan penembus portal, serta hal-hal menakjubkan yang rasanya membuat pembaca ingin pindah dimensi. Yang paling kusuka adalah karakter Raib dan Ali yang ada “uwu” nya dan si Seli turut mengisengi keduanya. Walau hanya sedikit penjelasnya, menurutku sangat cukup untuk menjawab setiap pertanyaan. Adapula hal paling menyentuh ketika Batozar berandai bertemu kedua orang yang sudah tidak bisa diraihnya, dan betapa membosankan hidup si kembar yang hanya hidup berdua dengan siklus sama walau punya teknologi memadai—mereka ingin pulang.

 

Sebenarnya, aku lumayan kesulitan dengan font pembagian episodenya karena kadang salah baca halaman dan mengingat relasi walau ada pembatasnya. Dengan karya fantastis ini, pembaca akan dibawa alam bawah sadarnya menikmati hal-hal yang masih belum mungkin karena novel ini berkisah betapa canggihnya era itu. Rasanya seperti dibanting setelah bangun dari mimpi. Aku juga semakin kagum dengan Ali yang jenius dan itu turut memukul ketidakmungkinan yang ada, tetapi setelah melihat kisah Seli dan Raib, tentu aku merasa bahwa menjadi diri sendiri dan menemukan inner power adalah hal terbaik.

 

Karya ini sangat aman dibaca semua usia. Aku bahkan membayangkan novel ini akan difilmkan dan akan berbuah seperti film Marvel yang heroik dan sehebat itu. Tidak ada unsur kekerasan berlebihan, sangat menghibur, dan menambah rasa semangat ketika sedang bosan. Aku jadi ingin membeli semua seri bumi ini dan terbitan baru karya Tere Liye, yaitu Selena dan Nebula, bahkan suatu hari ingin membangun perpustakaan novel sendiri saking banyak karyanya. Kamu akan berpikiran yang sama juga bahwa Tere Liye adalah penulis sci-fi yang tak kalah menakjubkannya dengan penulis luar negeri setelah membaca novel atau seri ini.


Kamis, 21 Mei 2020

Resensi Buku Yang (tak) Pernah Sederhana karya Tia Setiawati


picture and review
credit by @sherenal




Judul: Yang (tak) Pernah Sederhana
Pengarang: Tia Setiawati
Penerbit: Mediakita
Cetakan ke: 1
Tahun terbit: 2018
Tebal buku: 232 hal.
Kategori/Genre: Puisi

“Kau boleh pergi. 
Satu kali. 
Dengan satu syarat. 
: Jangan pernah kembali.” 
-hal 136

Tia Setiawati sudah suka menulis puisi semenjak SMP. Sebelum buku keduanya ini terbit di mediakita, ia sudah berani menerbitkan empat buku, yakni dengan tiga jilid kumpulan puisi “Karena Puisi Itu Indah” dan sebuah novel berjudul “Koma”. Awalnya, aku tertarik dengan buku antologi puisi ini karena teracuni dari akun youtube mediakita yang salah satu kontennya berasal dari buku ini.

Ini adalah buku antologi puisi pertama yang aku punya. Buku ini menceritakan tentang putus-nyambung dan pertanyaan setia kepada seseorang. Sebab, cinta memang tak sederhana. Terlalu banyak kenangan, terlalu banyak hal yang sebenarnya perlu dipertanyakan, terlalu banyak juga yang terkadang membuat penderitaan untuk rasa masing-masing.

Sampulnya unik, ukurannya mungil, tetapi cukup tebal dan dapat dibaca berkali-kali karena banyak sekali topik bagaimana  sabar dan berjuangnya seseorang dalam meluruskan hubungan. Selalu ada pemenggal dari sub-bab puisi atau sajak dengan kutipan yang memiliki desain layout bagus dan sangat quoteable. Buku ini dapat membuat para pembacanya menangis, apalagi jika memasukkan objek “seseorang” ke dalam fantasi dari setiap kata-kata di buku ini. Pembatas bukunya lumayan besar dan tidak mudah hilang karena tempelan kertas dengan kertas lainnya di bagian tengahan rapat. Dengan ada bahan puisi ini, dapat dijadikan sebagai musikalisasi puisi dengan kreasi sendiri dan dijadikan hiburan untuk hati yang terluka. Bahasanya tidak terlalu banyak kiasan dan dapat dipahami secara langsung alias tersurat, memudahkan pembaca tanpa sulit menempatkan suatu majas-majas rumit.

Dari sekian kebagusan tersebut, menurutku itu cukup, walau buku ini terlampau bucin sekali karena kukira ini akan punya kata kiasan tingkat “medium” yang tidak rumit dan tidak mudah dipahami juga sebagai tingkat intensitas kualitas puisi. Namun, balik ke awal, puisi tergantung selera masing-masing. Dan tanpa objek “seseorang”, bagiku buku ini akan terasa hambar, jadi pastikan jika kadar sedih, ingin, rindu, dan lainnya sedang meningkat, sehingga ini bisa jadi pelampiasan untuk kalian.

Buku ini aku rekomendasikan untuk orang-orang yang sedang kasmaran, khususnya untuk anak SMA atau perguruan tinggi ke atas. Hal ini dikarenakan cinta-cintaan yang kental di dalamnya atau hubungan serius dianjurkan atau umumnya diwajarkan di usia-usia itu. Jangan lupa siapkan tisu atau setel lagu melow untuk dapat membuka kilasan ingatan dengan si doi, dan setelahnya membentuk keputusan bagaimana baiknya sebuah hubungan itu berlanjut.


Rating 3.8/5


Resensi Novel Hans karya Risa Saraswati



picture and review
credit by @sherenal



Judul: Hans
Pengarang: Risa Saraswati
Penerbit: Bukune
Tahun terbit: 2017
Cetakan ke: 1
Tebal buku: 258 hlm.

“Aku telah mati. Lebih buruk dari itu, aku tak bisa menangis. Tak ada air mata yang bisa keluar lagi. Aku bingung memikirkan segalanya, memikirkan bagaimana nasib Oma Rose, nasib keluargaku yang lain….”- hal 244

Siapa yang tidak kenal dengan Risa Saraswati, penulis buku horor dan pembuat tayangan “indigo”/melihat makhluk halus bersama dengan krunya dalam menelaah setiap tempat (diajukan orang untuk dicek). Karya-karyanya yang lain ternyata juga disukai oleh banyak pembaca, seperti seri selain Hans ini, yaitu Peter, William, Hendrick, Janshen, dan masih banyak buku lainnya di luar seri, seperti Samantha, Maddah, bahkan Danur yang sudah difilmkan hingga rilisan seri berkali-kali.

Awalnya, kisah ini tak bercerita tentang Hans. Ini cerita bagaimana seluk-beluk kisah orang tua Hans, yaitu Heleen yang sempat diasingkan karena dia anak campuran, walau kulit dan rambutnya mendominasi warna orang Belanda dari ayahnya, Augusta Willem (memerkosa ibunya yang inlander). Anke sebagai teman mencomblangkannya dengan Adriaan Weel. Hal tersebut didukung dengan suaminya, Ludwig Schoner. Hal ini berakibat pilu ketika Anke dekat dengan Leonore Willem (anak angkat Augusta Willem). Heleen yang saat itu sudah punya anak tiga (Judith, Hans, dan Grena) berusaha memperbaiki hubungannya dengan ke rumah Anke sendirian. Ia menemukan Leonore yang hendak membunuh Anke. Kejadian tewasnya Anke menimbulkan tuduhan dan hukuman tak main-main, hingga Heleen pun kabur dan katanya terbakar di pabrik, Adriaan dengan kedua anak perempuannya entah ke mana, dan Hans beserta neneknya yang melarikan diri tanpa tujuan yang jelas. Risa Sarawasti menceritakan bagaimana Hans suka membuat roti dan takut kuntilanak, perjalanannya yang diliputi pertanyaan mengapa ia tak bertemu orang tua dan saudaranya, bahkan kematian yang tak terduga.

Novel ini akan jadi novel yang paling membayang-bayangi. Hal ini karena alurnya yang menurutku pahit untuk cerita antara Heleen dan Anke, dan bagaimana sayang dan nanggung kisah Hans yang menjadi teman Risa ini. Novel ini mampu membuat aku yang cenderung takut dengan hantu menjadi netral, layaknya saat membaca Samantha. Kisah Hans ini mengajarkan tentang banyak hal, perihal kisah Belanda yang tak selamanya bahagia. Dari awal, buku ini sama sekali tak bisa dikategorikan membosankan, aku menyelesaikannya dalam waktu sekitar satu hari, sebab runtutan dan antimainstreamnya kisah Hans yang sering membuat ngeri dan penasaran, sebab kisah Hans ini baru dapat ditemukan namanya di tengah halaman. Lebih ke poinnya, aku dibuat menangis sedalam-dalamnya, tidak di semua bagian, tetapi ada saja adegan yang demi apa membuat ngilu, sengilu-ngilunya di dada, kunobatkan jadi novel paling sedih.

Minusnya sedikit banget, hanya ending yang menghunjamku dengan pertanyaan “kenapa?”. Bagiku kematian dengan cara “—mengandung spoiler—” untuk si kecil Hans terlalu sayang, tetapi untuk ekspresif si Rosemary setelahnya juga mampu membuatku tersentuh. 

Buku ini cocok untuk semua kalangan umur, memberikan kesan misteri dan horor yang tidak melampaui batas dan menurutku aman-aman saja. Novel ini akan membuat pembacanya dikejar dengan rasa penasaran dan menyelesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya karena cerita kehidupan keluarga Hans yang berlangsung ngeri dan sangat seru untuk dibaca.
                                                                                       
Rating: 4.8/5