Resensi Buku Batu Berdaun dan Puluhan Dongeng Nusantara
“Anakku, apakah kamu sadar, selama ini kamu telah berjuang dan memperkuat akar? Aku tidak menyerah saat menanam benih dan merawat pohon bambu, begitu juga denganmu. Jangan membandingkan dirimu dengan yang lain. Bambu mempunyai fungsi yang berbeda dengan semak, tetapi mereka semua membuat hutan menjadi indah.”-hal.195
Judul: Batu Berdaun dan Puluhan
Dongeng Nusantara
Nama penulis: Winkanda Satria
Putra dan Mentari Pujiana Yusuf
Penerbit: Penerbit Andi
Tahun terbit: 2012
Cetakan ke: 1
Kategori: Buku Anak
Jumlah hal: 326 hal.
Wikanda Satria adalah penulis
buku anak-anak, ia berkolaborasi dengan Mentari Pujiana Yusuf menulis Batu
Berdaun dan Puluhan Dongeng Nusantara. Buku ini menggabungkan banyak dongeng
dari seluruh nusantara. Aku masih berumur 13 tahun saat mempunyai buku ini
pertama kali, walau belum begitu minat dengan fiksi, imajinasiku bisa terlatih dan
menyukainya dengan cepat.
Buku yang ditujukan meningkatkan
literasi dongeng nusantara ini menggunakan bahasa yang mudah dipahami
anak-anak, sangat to the point, jarang menggunakan percakapan, walau cenderung
show dibanding tell. Membaca buku ini mengingatkanku pada seri legenda yang
ditayangkan televisi pada tahun 2010-an ke atas, pula cerita wattpad yang tahun
2018-an sempat dilestarikan adaptasi “Timun Mas”. Ada beberapa cerita yang
tidak asing dan pernah kudengar dari sekolah. Aku sedikit ngeri jika sampai konflik,
mengetahui budaya di masa legenda itu 1000-an sangatlah mengerikan. Saking
berkesannya untukku di usia 14 tahun, aku pernah melukis nenek, putri, istana,
dan air mancur sesuai dongeng “Pengemis dan Putra Raja” (Melayu) – part 29.
Buku ini menceritakan 50 cerpen (dongeng)
dari berbagai nusantara. Mulai dari sabang sampai Merauke. Ada fabel juga di
dalamnya, hal-hal gaib atau fantasi juga terkait mengingat saat itu ilmu kesaktian
sudah banyak digunakan untuk membela diri, melindungi rakyat, maupun memusuhi
orang lain. Hal yang sering kutemukan ialah perihal kerajaan dan pernikahan. Buku
ini juga mengenalkan asal-muasal suatu tempat. Belanda, Cina, bahkan wilayah lain
termasuk mengingat ceritanya yang kompleks.
Mulai dari sampul, buku ini
cantik. Ceritanya juga variasi dari berbagai daerah, suku, budaya dan
tempat-tempat terkait, hingga akhir konflik tentunya butuh riset yang bukan
main. Terlebih jika ceritanya bukan cerita pasaran, seperti “Tepaisaka dan
Kilipase” (Papua)—part 49. Walaupun dongeng adalah cerita yang mungkin dan
tidak mungkin terjadi, budaya berkaitan tentu harus ekstra diteliti supaya
ceritanya utuh. Tata cara kepenulisannya juga benar, bahasanya sangat mudah dimengerti
untuk kategori anak-anak. Cerita ini punya alur yang proporsi pas, tokohnya kuat
dan dalam kategori banyak karakter ini, mereka punya peran. Amanatnya banyak dan tersurat,
mengingatkan kita hal-hal kecil yang bisa dicontoh sampai kapan pun berkaitan
dengan budi pekerti.
Membaca ini di usia hampir 18
tahun membuatku sedikit muak karena tokoh, latar, dan amanat yang banyak
terkesan harus kuingat. Imajinasiku juga tidak sehebat anak kecil, sehingga
cerita yang tersirat dan to the point kurang mengenakkan dibaca. Selebihnya,
buku ini tetap hebat dengan konflik, ide, dan materinya yang luas, sembari
menambah ilmu kedaerahan.
Dilihat dari keterangan di atas
buku ini sangat cocok untuk anak usia 8-14 tahun. Usia yang sudah bisa membaca
dan imajinasinya cukup tinggi. Mungkin membacakan dongeng ini dari orang tua
kepada anak di bawah usia delapan tahun juga disarankan karena cerita ini akan
sangat menyenangkan untuk mereka dan menambah kecintaan terhadap Indonesia.