Pages

Selasa, 27 Juli 2021

Resensi Buku Batu Berdaun dan Puluhan Dongeng Nusantara oleh Winkanda Satria Putra dan Mentari Pujiana Yusuf

 Resensi Buku Batu Berdaun dan Puluhan Dongeng Nusantara

 --photo and review credited to @sherenal




“Anakku, apakah kamu sadar, selama ini kamu telah berjuang dan memperkuat akar? Aku tidak menyerah saat menanam benih dan merawat pohon bambu, begitu juga denganmu. Jangan membandingkan dirimu dengan yang lain. Bambu mempunyai fungsi yang berbeda dengan semak, tetapi mereka semua membuat hutan menjadi indah.”-hal.195


Judul: Batu Berdaun dan Puluhan Dongeng Nusantara

Nama penulis: Winkanda Satria Putra dan Mentari Pujiana Yusuf

Penerbit: Penerbit Andi

Tahun terbit: 2012

Cetakan ke: 1

Kategori: Buku Anak

Jumlah hal: 326 hal.

 

Wikanda Satria adalah penulis buku anak-anak, ia berkolaborasi dengan Mentari Pujiana Yusuf menulis Batu Berdaun dan Puluhan Dongeng Nusantara. Buku ini menggabungkan banyak dongeng dari seluruh nusantara. Aku masih berumur 13 tahun saat mempunyai buku ini pertama kali, walau belum begitu minat dengan fiksi, imajinasiku bisa terlatih dan menyukainya dengan cepat.  

 

Buku yang ditujukan meningkatkan literasi dongeng nusantara ini menggunakan bahasa yang mudah dipahami anak-anak, sangat to the point, jarang menggunakan percakapan, walau cenderung show dibanding tell. Membaca buku ini mengingatkanku pada seri legenda yang ditayangkan televisi pada tahun 2010-an ke atas, pula cerita wattpad yang tahun 2018-an sempat dilestarikan adaptasi “Timun Mas”. Ada beberapa cerita yang tidak asing dan pernah kudengar dari sekolah. Aku sedikit ngeri jika sampai konflik, mengetahui budaya di masa legenda itu 1000-an sangatlah mengerikan. Saking berkesannya untukku di usia 14 tahun, aku pernah melukis nenek, putri, istana, dan air mancur sesuai dongeng “Pengemis dan Putra Raja” (Melayu) – part 29.

 

Buku ini menceritakan 50 cerpen (dongeng) dari berbagai nusantara. Mulai dari sabang sampai Merauke. Ada fabel juga di dalamnya, hal-hal gaib atau fantasi juga terkait mengingat saat itu ilmu kesaktian sudah banyak digunakan untuk membela diri, melindungi rakyat, maupun memusuhi orang lain. Hal yang sering kutemukan ialah perihal kerajaan dan pernikahan. Buku ini juga mengenalkan asal-muasal suatu tempat. Belanda, Cina, bahkan wilayah lain termasuk mengingat ceritanya yang kompleks.  

 

Mulai dari sampul, buku ini cantik. Ceritanya juga variasi dari berbagai daerah, suku, budaya dan tempat-tempat terkait, hingga akhir konflik tentunya butuh riset yang bukan main. Terlebih jika ceritanya bukan cerita pasaran, seperti “Tepaisaka dan Kilipase” (Papua)—part 49. Walaupun dongeng adalah cerita yang mungkin dan tidak mungkin terjadi, budaya berkaitan tentu harus ekstra diteliti supaya ceritanya utuh. Tata cara kepenulisannya juga benar, bahasanya sangat mudah dimengerti untuk kategori anak-anak. Cerita ini punya alur yang proporsi pas, tokohnya kuat dan dalam kategori banyak karakter ini, mereka punya peran. Amanatnya banyak dan tersurat, mengingatkan kita hal-hal kecil yang bisa dicontoh sampai kapan pun berkaitan dengan budi pekerti.

 

Membaca ini di usia hampir 18 tahun membuatku sedikit muak karena tokoh, latar, dan amanat yang banyak terkesan harus kuingat. Imajinasiku juga tidak sehebat anak kecil, sehingga cerita yang tersirat dan to the point kurang mengenakkan dibaca. Selebihnya, buku ini tetap hebat dengan konflik, ide, dan materinya yang luas, sembari menambah ilmu kedaerahan.

 

Dilihat dari keterangan di atas buku ini sangat cocok untuk anak usia 8-14 tahun. Usia yang sudah bisa membaca dan imajinasinya cukup tinggi. Mungkin membacakan dongeng ini dari orang tua kepada anak di bawah usia delapan tahun juga disarankan karena cerita ini akan sangat menyenangkan untuk mereka dan menambah kecintaan terhadap Indonesia.

 

 

0 komentar:

Posting Komentar