Pages

Selasa, 17 Agustus 2021

Resensi Buku The Book of Ikigai

 Review Buku The Book of Ikigai

 




Judul: The Book of Ikigai

Penulis: Ken Mogi, Ph. D

Penerbit: Noura Books, PT. Mizan

Cetakan ke: 3

Tahun terbit: 2019

Tebal buku: 191 hal.

Genre: Non fiksi—Inspirasi

 

“Ketika Anda masih muda, Anda tak bisa memulai hal dengan cara yang besar. Apa pun yang Anda lakukan, itu tak banyak artinya bagi dunia. Anda harus memulai dari hal yang kecil”-hal. 57

 

“Dengan membebaskan diri dari beban diri, kita dapat membuka diri terhadap semesta tak terbatas dari kesenangan-kesenangan indriawi.”-hal. 74

 

“Flow merupakan kondisi ketika orang-orang begitu larut dalam satu aktivitas sehingga rasanya tidak ada hal lain yang penting. Pekerjaan itu sendiri menjadi tujuan, alih-alih sesuatu yang mesti dijalani sebagai cara mencapai sesuatu.”-hal 78

 

“Flow adalah tentang menghargai keberadaan jiwa raga di tempat dan waktu sekarang. Seorang anak mengetahui nilai berada pada momen sekarang. Sebenarnya, seorang anak memiliki gagasan pasti tentang masa lalu atau masa depan. Kebahagiaannya, terletak pada waktu sekarang.”-hal. 82

 

“Begitu Anda memperhatikan detail-detail kecil dalam hidup, tidak ada yang terulang. Setiap peluang itu istimewa.”-ha. 91

 

“Anda dapat mengejar kualitas terbaik hanya jika Anda berada dalam kondisi mengalir.”-hal.94

 

“Buatlah musik, meski taka ada seorang pun yang mendengar. Lukislah sebuah gambar, meski taka da seorang pun yang melihat. Tuliskani sebuah cerita singkat yang tak akan dibaca orang. Kesenangan  batin dan kepuasan akan lebih dari cukup untuk menyemangati terus hidup Anda.”-hal.97

 

“Taka ada gunanya berusaha menyerupai orang lain, meskipun ada tekanan dari teman sebaya. Jadi santai saja, dan jadilah diri Anda sendiri.”-hal. 176

 

Ken Mogi adalah peneliti otak, penulis, dan penyair dari Jepang, yang sudah menerbitkan lebih dari 100 buku. Aku sempat melihat salah satu konten edukasi yang mereview buku ini mengenai ikigai dan keterkaitannya. Hipotesis sebelumnya menurutku adalah bagaimana seseorang seharusnya hidup, sesuai dengan kepribadiannya, tetapi tidak melulu begitu.

 

Ada catatan awal untuk pembaca sebagai pembuka, 10 bab pembahasan menginspirasi, dan kesimpulan yang semakin menyakinkan pembacanya tentang apa yang sudah diperoleh, menemukan ikigainya. Ada pembatas indah yang berisi kutipan motivasi terpenting setiap babnya. Ken Mogi mengutarakan ceritanya dengan rinci, kemudian memusatkan intinya Kembali. Ia bahkan mengulas ulang baba tau topik sebelumnya, sehingga lima pilar ikigainya bisa tertanam di otak pembaca.

 

Buku ini berisi tentang ikigai (alasan hidup) dengan lima pilar: awali hari dengan hal kecil, bebaskan dirimu, keselarasan dan kesinambungan, kegembiraan dari hal-hal kecil, dan hadir di tempat sekarang. Diawali 1) Jiro Ono dengan restoran sushi terlezat walau sekali makan memang habis terlupakan, 2) Bangun pagi dengan kegembiraan kecil: senam atau minum teh, 3) Kodawari (standar personal yang memberikan khas): muskmelon 200$ dan mangkok yohen tenmoku, 4) Keindahan indriawi: meditasi buddha membebaskan diri, 5) Kreativitas: master anime Miyazaki dan pengolahan wiski, 6) Kelestarian: Kuil Ise dan Kuil Meiji nan ketenangan di dalamnya, 7)Makna Hidup: sumo dengan kekalahan beruntun dengan puncak sekitori, 8) Kebangkitan Jepang setelah perang dan bencana alam, 9) Datsusara dan comiket pameran cosplay, dan 10) Dua Manusia sama sekali beda.

 

Membaca buku ini sembari mendengarkan lofi bisa jadi ikigai sendiri untukku. Menenangkan dan membahagiakan. Walaupun sub poinnya banyak, begitupula dengan cerita nyata menginspirasinya, pembawaan Ken Mogi sama sekali tidak buru-buru, bukunya cantik dengan judul nan blurb sesuai, menambah ilmu segala aspek terutama budaya Jepang maupun banyak negara barat yang disebutkan mengetahui Ken Mogi sudah berkeliling dunia. Dengan harga menengah, buku ini membawa banyak filosofi hidup, sehingga sekali tahu kata “ikigai” aku sedikit tercenung.

 

Yang paling membuatku tertampar adalah penegasan waktu sekarang. Menikmati makanan enak juga termasuk ke dalamnya. Aku juga kaget dengan Jepang yang memiliki 8 Juta Dewa: bahkan bisa mengkolaborasikan agama Kristen, Budha, dan Shinto (agama Jepang) dalam satu individu. Ada lagi untuk menjadi biksu bukanlah hal menyedihkan, tetapi melegakan karena terbebas dari duniawi yang penuh persaingan terlebih hidupnya sehat, Ikigai sesungguhnya adalah ketika suka, kau akan melakukannya tanpa mengeluh bahkan tetap bahagia. Ikigai membuat seseorang tetap berdiri dengan senyum mantap tanpa pengakuan sosial, uang, pencapaian, sebab proses itu dilakukan senang hati.

 

Aku jadi punya pendapat rumor tentang bunuh diri di Jepang disebabkan orangnya tidak memiliki ikigai. Ikigai yang membebaskan berekspresi jadi apa pun, mengambil kesempatan di masa sekarang, sehingga tak ada penyesalan satu pun. Coba lihat banyak spektrum warna dunia nyata yang tak bisa dilukiskan. Ada hal-hal kecil yang bisa membuat kita tersenyum. Bahkan ada seseorang mengatakan bahwa hidup itu sia-sia, jadi carilah kesenangan. Bahkan warga Jepang memilih kerja daripada pensiun karena ikigai yang tertanam membuat seseorang ingin terus melanjutkan hidupnya.  Kemudian, untuk menjadi versi terbaik, tidak perlu menjadi diri orang lain karena menjadi diri sendiri yang punya otentik tak bisa disamakan akan jadi superpower tersendiri.

 

Buku ini bagus untuk orang yang selalu merasa dikejar dengan ekspetasi dunia. Ikigai menyediakan segala hal sehingga kehancuran pun tak berarti sehingga tetap bisa menjalankan hidup. Kekompleksan buku ikigai ini sulit dideskripsikan. Ketoleranan akan hal aneh (yang sebenarnya istimewa), kebahagiaan anak kecil, alasan menyenangkan tetap bisa membuat hari dan dunia ini punya arti berbeda.

 

 

0 komentar:

Posting Komentar