Pages

Senin, 21 September 2020

Resensi Novel Recalling The Memory karya Sheva

Resensi Novel Recalling The Memory karya Sheva

resensi & photo credit by @sherenal



Judul: Recalling the Memory

Pengarang: Sheva

Penerbit: Penerbit Bental Belia (PT Bentang Pustaka)

Cetakan ke: 1

Tahun terbit: 2017

Tebal buku: 264 hal.

Genre: Teenfiksi

 

 “Setiap orang beda-beda, Sof. Kalau lo bilang gue tuts putih, lo tuts hitam, atau gue Midas dan lainnya itu, lo nggak akan lihat diri lo sendiri sebenarnya kayak apa. Lo hanya melihat ke gue dan yang lain, tapi tidak ke diri lo.” Romi, hal 100.

 

Awal beli buku ini karena tahun 2019 marak banget series belia writing marathon di wattpad. Series terbarunya saat itu juga aku ikut ngevote. Tapi, karena penasaran dan belum punya buku series apa pun karena kupikir bisa dibaca online, akhirnya beli juga. Sheva sendiri sebagai penulis sudah menerbitkan dua buku sebelumnya, yang salah satunya berjudul Memorabilia dan beberapa kejadian lumayan nyambung dengan cerita ini.

 

Dalam penyampaiannya, banyak banget narasi dibandingkan percakapannya. Penjelasannya didasarkan tahun yang mana ketahuan bahwa novel ini akan ada lintas waktu dari flashback yang cukup jauh, yaitu 8 tahun dari 2008. Aku seperti menemukan diri sendiri karena keperfeksionisan penulis spontan memberikan rasa de javu.

 

Aku ngebaca ini lumayan netral dan nyicil se-part satu hari dulu saat kelas 11 masa saat baca novel diam-diam ke kelas, sampai sharing ke teman. Yang paling mencolok adalah motivasi untuk selalu just do it. Adapula tentang pilihan yang kita tidak suka tapi harus dipilih, akhirnya akan jatuh ke keterpaksaan akan minat yang membuat semua jadi tidak begitu menyenangkan.

 

Ini tentang Sofia yang suka bermain piano di sekolah dan akhirnya bertemu dengan seorang Romi. Ayahnya ingin Sofia meneruskan firma hukumnya dan fokus les bahasa Belanda, bukan piano. Romi dan Sofia akan mendaftarkan diri dalam beasiswa eklusif four hands ke Juilliard, NYC. Mereka latihan bersama setiap pagi, sampai punya lika-liku tentang pacar Romi (Kikan) yang ketahuan bersama laki-laki lain. Lalu permasalahan muncul lagi ketika ayah Sofia jatuh sakit-sakitan serta piano di rumahnya yang dibuang, membuat Sofia harus memilih antara jurusan hukum di Belanda atau beasiswa piano bersama Romi yang dia sukai.

 

Bagusnya buku ini adalah pengetahuan tentang lagu-lagu piano. Istilah di buku ini juga bukan asal sebut, tetapi ada riset juga. “Great minds think alike” karena sepatu converse mereka yang samaan terus, intinya sesuatu yang logis dan berkelas. Herannya tiga kali di bagian terakhir aku lumayan sedih, dan tentu saja ada plot twistnya. Kekurangannya hanya sedikit membosankan jika dibaca sepenggal-penggal apalagi pas dibaca di kelas dulu campur aduk sama materi pelajaran. Baca momen terakhir yang tertunda di rumah jadi penutup buku Recalling the Memori paling baik.

 

I highly recommended buat yang suka sama hal berbau piano, kalian pasti auto connect. Untuk anak SMP atau SMA yang pusing milih kesukaan, kerumitan yang ada di dalamnya juga relate. Siap-siap catatan untuk mencatat motivasi yang munculnya bisa belasan kali atau lebih. Buku ini indah walau bukan tentang kerajaan, but that’s that I could expose.

 

Rate: 4/5

 


Minggu, 19 Juli 2020

Resensi Novel Ceroz dan Batozar karya Tere Liye

 


--photo and review credited to @sherenal


Judul: Ceros dan Batozar

Pengarang: Tere Liye

Penerbit: Gramedia

Cetakan ke: 2

Tahun terbit: 2018

Kategori: Fiksi Ilmiah

 

“Semua pertikaian antara pemilik kekuatan dan orang-orang biasa hanyalah kedok, topeng. Sejatinya itu hanyalah perebutan kekuasaan. Politik. Ambisi orang-orang yang ingin berkuasa. Kebencian, prasangka antara pemilik kekuatan dan orang-orang biasa sengaja mereka jadikan alat agar mereka bisa berkuasa. Penuh pencitraan, penuh kebohongan.”-hal 273

 

Siapa yang tidak kenal sosok Tere Liye. Ia adalah penulis terkenal di Indonesia, bahkan menyebut namanya saja kita dapat menyebutkan berbagai macam karyanya. Buku Ceroz dan Batozar ini adalah karya kedua Tere Liye yang kupunya setelah Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Aku sempat membaca sedikit novel “Bintang” di perpustakaan sekolah dan hendak membeli offline, tapi hanya ada serial Ceroz dan Batozar, juga Komet. Karena kesamaan sampul dengan Bintang, aku pun membeli versi 4.5 ini.

 

Dulu, menurutku karya Tere Liye punya pemikiran terlalu berat, ternyata ini dibilang cukup untuk jadi pemikiran kritis para remaja. Tere Liye tidak pernah tergesa-gesa dalam menuliskan semuanya, sehingga runtut, bahkan sulit menemukan celah di mana suatu topik ada yang terlupakan atau plot hole. Sistematis. Setelah selesai membaca novel “Hujan” kemudian membaca “Ceroz dan Batozar” aku tidak begitu heran jika semuanya dituliskan secara fantastis. Aku berusaha mencari kata atau kalimat yang membuatku terus-menerus ketagihan tanpa memikirkan satu pun kesalahan. Penjelasan fisik, karakter, dialog, aksi, Tere Liye punya gaya kepenulisan yang saling melengkapi.

 

Sesuai judulnya, ini bercerita tentang sosok Ceros (badak) yang sebenarnya seorang manusia kembar: Ngglaggeram dan Ngglanggeran. Ada tiga tokoh yang jadi karakter dalam serinya, yaitu Ali, Seli, dan Raib. Mereka sedang ada study tour ke museum, lalu ILY atau kapsul milik Ali sang Jenius berdesing dan membawa mereka menemui Ceros, hingga tidak bisa keluar dan berkemungkinan terjebak selamanya. Kemudian kisah kedua yang berkelanjutan setelah Ceros ada Batozar yang kabur setelah beratus tahun dipenjara kabur ke bumi. Tanpa sadar, ketiga tokoh inilah yang menjadi poin penting Klan Bulan menemukan buronannya. Di sini, tokoh Raib menjadi tokoh paling didambakan kekuatannya karena dia keturunan murni yang dapat berbicara dengan alam, hingga ada perselisihan dengan Batozar dan Klan Bulan (terus memburunya), hingga ketiga anak enam belas tahun itu diculik dan kisah menyenangkan dan pilu dimulai.

 

Wow. Itu adalah kata yang tepat saat membacanya. Selain penulisannya yang sistematis tadi, segala ide teknologi terungkap di sini. Tentang makanan yang dibuat tanpa mesin dan jadi sendiri, kendaraan penembus portal, serta hal-hal menakjubkan yang rasanya membuat pembaca ingin pindah dimensi. Yang paling kusuka adalah karakter Raib dan Ali yang ada “uwu” nya dan si Seli turut mengisengi keduanya. Walau hanya sedikit penjelasnya, menurutku sangat cukup untuk menjawab setiap pertanyaan. Adapula hal paling menyentuh ketika Batozar berandai bertemu kedua orang yang sudah tidak bisa diraihnya, dan betapa membosankan hidup si kembar yang hanya hidup berdua dengan siklus sama walau punya teknologi memadai—mereka ingin pulang.

 

Sebenarnya, aku lumayan kesulitan dengan font pembagian episodenya karena kadang salah baca halaman dan mengingat relasi walau ada pembatasnya. Dengan karya fantastis ini, pembaca akan dibawa alam bawah sadarnya menikmati hal-hal yang masih belum mungkin karena novel ini berkisah betapa canggihnya era itu. Rasanya seperti dibanting setelah bangun dari mimpi. Aku juga semakin kagum dengan Ali yang jenius dan itu turut memukul ketidakmungkinan yang ada, tetapi setelah melihat kisah Seli dan Raib, tentu aku merasa bahwa menjadi diri sendiri dan menemukan inner power adalah hal terbaik.

 

Karya ini sangat aman dibaca semua usia. Aku bahkan membayangkan novel ini akan difilmkan dan akan berbuah seperti film Marvel yang heroik dan sehebat itu. Tidak ada unsur kekerasan berlebihan, sangat menghibur, dan menambah rasa semangat ketika sedang bosan. Aku jadi ingin membeli semua seri bumi ini dan terbitan baru karya Tere Liye, yaitu Selena dan Nebula, bahkan suatu hari ingin membangun perpustakaan novel sendiri saking banyak karyanya. Kamu akan berpikiran yang sama juga bahwa Tere Liye adalah penulis sci-fi yang tak kalah menakjubkannya dengan penulis luar negeri setelah membaca novel atau seri ini.


Kamis, 21 Mei 2020

Resensi Buku Yang (tak) Pernah Sederhana karya Tia Setiawati


picture and review
credit by @sherenal




Judul: Yang (tak) Pernah Sederhana
Pengarang: Tia Setiawati
Penerbit: Mediakita
Cetakan ke: 1
Tahun terbit: 2018
Tebal buku: 232 hal.
Kategori/Genre: Puisi

“Kau boleh pergi. 
Satu kali. 
Dengan satu syarat. 
: Jangan pernah kembali.” 
-hal 136

Tia Setiawati sudah suka menulis puisi semenjak SMP. Sebelum buku keduanya ini terbit di mediakita, ia sudah berani menerbitkan empat buku, yakni dengan tiga jilid kumpulan puisi “Karena Puisi Itu Indah” dan sebuah novel berjudul “Koma”. Awalnya, aku tertarik dengan buku antologi puisi ini karena teracuni dari akun youtube mediakita yang salah satu kontennya berasal dari buku ini.

Ini adalah buku antologi puisi pertama yang aku punya. Buku ini menceritakan tentang putus-nyambung dan pertanyaan setia kepada seseorang. Sebab, cinta memang tak sederhana. Terlalu banyak kenangan, terlalu banyak hal yang sebenarnya perlu dipertanyakan, terlalu banyak juga yang terkadang membuat penderitaan untuk rasa masing-masing.

Sampulnya unik, ukurannya mungil, tetapi cukup tebal dan dapat dibaca berkali-kali karena banyak sekali topik bagaimana  sabar dan berjuangnya seseorang dalam meluruskan hubungan. Selalu ada pemenggal dari sub-bab puisi atau sajak dengan kutipan yang memiliki desain layout bagus dan sangat quoteable. Buku ini dapat membuat para pembacanya menangis, apalagi jika memasukkan objek “seseorang” ke dalam fantasi dari setiap kata-kata di buku ini. Pembatas bukunya lumayan besar dan tidak mudah hilang karena tempelan kertas dengan kertas lainnya di bagian tengahan rapat. Dengan ada bahan puisi ini, dapat dijadikan sebagai musikalisasi puisi dengan kreasi sendiri dan dijadikan hiburan untuk hati yang terluka. Bahasanya tidak terlalu banyak kiasan dan dapat dipahami secara langsung alias tersurat, memudahkan pembaca tanpa sulit menempatkan suatu majas-majas rumit.

Dari sekian kebagusan tersebut, menurutku itu cukup, walau buku ini terlampau bucin sekali karena kukira ini akan punya kata kiasan tingkat “medium” yang tidak rumit dan tidak mudah dipahami juga sebagai tingkat intensitas kualitas puisi. Namun, balik ke awal, puisi tergantung selera masing-masing. Dan tanpa objek “seseorang”, bagiku buku ini akan terasa hambar, jadi pastikan jika kadar sedih, ingin, rindu, dan lainnya sedang meningkat, sehingga ini bisa jadi pelampiasan untuk kalian.

Buku ini aku rekomendasikan untuk orang-orang yang sedang kasmaran, khususnya untuk anak SMA atau perguruan tinggi ke atas. Hal ini dikarenakan cinta-cintaan yang kental di dalamnya atau hubungan serius dianjurkan atau umumnya diwajarkan di usia-usia itu. Jangan lupa siapkan tisu atau setel lagu melow untuk dapat membuka kilasan ingatan dengan si doi, dan setelahnya membentuk keputusan bagaimana baiknya sebuah hubungan itu berlanjut.


Rating 3.8/5


Resensi Novel Hans karya Risa Saraswati



picture and review
credit by @sherenal



Judul: Hans
Pengarang: Risa Saraswati
Penerbit: Bukune
Tahun terbit: 2017
Cetakan ke: 1
Tebal buku: 258 hlm.

“Aku telah mati. Lebih buruk dari itu, aku tak bisa menangis. Tak ada air mata yang bisa keluar lagi. Aku bingung memikirkan segalanya, memikirkan bagaimana nasib Oma Rose, nasib keluargaku yang lain….”- hal 244

Siapa yang tidak kenal dengan Risa Saraswati, penulis buku horor dan pembuat tayangan “indigo”/melihat makhluk halus bersama dengan krunya dalam menelaah setiap tempat (diajukan orang untuk dicek). Karya-karyanya yang lain ternyata juga disukai oleh banyak pembaca, seperti seri selain Hans ini, yaitu Peter, William, Hendrick, Janshen, dan masih banyak buku lainnya di luar seri, seperti Samantha, Maddah, bahkan Danur yang sudah difilmkan hingga rilisan seri berkali-kali.

Awalnya, kisah ini tak bercerita tentang Hans. Ini cerita bagaimana seluk-beluk kisah orang tua Hans, yaitu Heleen yang sempat diasingkan karena dia anak campuran, walau kulit dan rambutnya mendominasi warna orang Belanda dari ayahnya, Augusta Willem (memerkosa ibunya yang inlander). Anke sebagai teman mencomblangkannya dengan Adriaan Weel. Hal tersebut didukung dengan suaminya, Ludwig Schoner. Hal ini berakibat pilu ketika Anke dekat dengan Leonore Willem (anak angkat Augusta Willem). Heleen yang saat itu sudah punya anak tiga (Judith, Hans, dan Grena) berusaha memperbaiki hubungannya dengan ke rumah Anke sendirian. Ia menemukan Leonore yang hendak membunuh Anke. Kejadian tewasnya Anke menimbulkan tuduhan dan hukuman tak main-main, hingga Heleen pun kabur dan katanya terbakar di pabrik, Adriaan dengan kedua anak perempuannya entah ke mana, dan Hans beserta neneknya yang melarikan diri tanpa tujuan yang jelas. Risa Sarawasti menceritakan bagaimana Hans suka membuat roti dan takut kuntilanak, perjalanannya yang diliputi pertanyaan mengapa ia tak bertemu orang tua dan saudaranya, bahkan kematian yang tak terduga.

Novel ini akan jadi novel yang paling membayang-bayangi. Hal ini karena alurnya yang menurutku pahit untuk cerita antara Heleen dan Anke, dan bagaimana sayang dan nanggung kisah Hans yang menjadi teman Risa ini. Novel ini mampu membuat aku yang cenderung takut dengan hantu menjadi netral, layaknya saat membaca Samantha. Kisah Hans ini mengajarkan tentang banyak hal, perihal kisah Belanda yang tak selamanya bahagia. Dari awal, buku ini sama sekali tak bisa dikategorikan membosankan, aku menyelesaikannya dalam waktu sekitar satu hari, sebab runtutan dan antimainstreamnya kisah Hans yang sering membuat ngeri dan penasaran, sebab kisah Hans ini baru dapat ditemukan namanya di tengah halaman. Lebih ke poinnya, aku dibuat menangis sedalam-dalamnya, tidak di semua bagian, tetapi ada saja adegan yang demi apa membuat ngilu, sengilu-ngilunya di dada, kunobatkan jadi novel paling sedih.

Minusnya sedikit banget, hanya ending yang menghunjamku dengan pertanyaan “kenapa?”. Bagiku kematian dengan cara “—mengandung spoiler—” untuk si kecil Hans terlalu sayang, tetapi untuk ekspresif si Rosemary setelahnya juga mampu membuatku tersentuh. 

Buku ini cocok untuk semua kalangan umur, memberikan kesan misteri dan horor yang tidak melampaui batas dan menurutku aman-aman saja. Novel ini akan membuat pembacanya dikejar dengan rasa penasaran dan menyelesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya karena cerita kehidupan keluarga Hans yang berlangsung ngeri dan sangat seru untuk dibaca.
                                                                                       
Rating: 4.8/5

Senin, 20 April 2020

Resensi Novel Satria November



"Nov, menurut gue, ibarat buku, hidup kita ini bukan cuma punya kita sendiri, lho. Biarpun kita yang nulis. kita yang nentuin mau nulis apa. Dan isinya bukan cuma memengaruhi hidup kita doang, tapi juga orangtua dan orang-orang terdekat kita."-hal.198

Judul: Satria November
Pengarang: Mia Arsjad
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit: 2014
Cetakan ke: 5
Tebal buku: 248 hal.



Novel ini adalah hadiah dari lomba poster @classicalclover yang belum sempat kubaca. Novel ini ditulis oleh Mia Arsjad yang risetnya lumayan kental walau tidak terlalu detail hingga bahasa ilmiahnya tentang narkoba.

Seorang anak remaja bernama Satria November atau dipanggil Inov ini dipindahkan ke rumah tantenya, agar jauh-jauh dari Jakarta (tempat kelam ia bernarkoba dulu). Lambat laun, Inov menyimpan rahasianya, dan Mima (anak tantenya) yang kebetulan satu sekolah dengannya juga tahu. Sedangkan Mika saudara kembar Mima yang di sini mulai panik ketika Inov kembali dengan keadaaan babak belur. Inov dikejar pengedar narkoba untuk dijual lagi, Inov tak mau, tetapi diancam memberitahu mamanya jika ia pernah membobol kas sekolah untuk beli narkoba (Inov sayang banget sama mamanya). Di sisi lain, pacar Inov (Safira) mulai datang menemui dan berkata bahwa akan ada pesta narkoba di rumahnya, dan di situ ia akan diapa-apakan Reno, sang tuan gelap ini semua. Inov yang masih sakit-sakitan, Mima yang harus mengurus Inov dibanding Gian, dan segala ancaman yang tak pernah berhenti.

Yang disayangkan, sampul bukunya bagiku kurang menarik. Terlalu horor untuk jenis teenlit yang sebenarnya lumayan slice of life dan ada bucin-nya juga. Di awal terdapat kejadian terlalu datar atau mungkin dipaksakan. Ada beberapa kata yang kurang pas buat kaidah kebahasaan (sebenarnya disarankan), seperti kata “bug” serupa pukulan orang.

Kelebihan buku ini tentu saja banyak. Walau ada beberapa yang kurang pas tadi, menuju konflik ini lebih dari kata seru. Novel yang awalnya dibaca malas-malasan ini akan cepat selesai dibaca jika sudah terkait konflik baru yang terus bertambah, dan ya ini tidak bikin pusing. Ada paniknya, adapula sedih yang bahkan di tenggorokan rasanya tercekat sendiri karena plot twist bukan main-main. Kisah Satria November merupakan buku misteri yang dapat dibaca santai untuk semua kalangan umur, memberikan banyak pengetahuan tentang pemeriksaan rehabilitasi, dan ending dijamin tidak mengecewakan. 

rating 3.9/5

Jumat, 03 April 2020

Resensi Novel Falling Into Place




Judul: Falling Into Place
Pengarang: Amy Zhang
Hak terjemahan: POP
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit: 2016
Cetakan: pertama
Tebal buku: 327 halaman

Falling Into Place adalah karya pertama Amy Zhang. Amy Zhang sendiri merupakan penulis dari Tiongkok yang punya hobi bermain piano. Karya yang berjudul Falling Into Place ini sudah tersebar di bermacam-macam negara dengan bahasa terjemahan yang dijual di toko buku terdekat.

“Namun, pikiran mengerikan mengambil alih bernaknya dan tak kunjung pergi. Di antara tujuh miliar orang yang seplanet dengannya, tak satupun mengetahui isi kepalanya. Tak satu pun tahu bahwa dia hilang arah. Tak satupun bertanya.”

Ini adalah kisah seorang Liz Emerson yang bunuh diri dengan sengaja dengan melewati pembatas tol dan mempertimbangkan segala hukum Newton yang dia sendiri tak pahami. Ketika dia kritis dan masuk rumah sakit, orang-orang, termasuk pacarnya yang suka berselingkuh (Jake Derrick) juga hadir. Monica, sang ibunda yang sama suka berpura-pura seperti Liz hadir, begitupula kedua temannya Julia dan Kennie, bahkan gurunya (Mr. Eliezer). Mereka bercerita tentang segala masa lalu yang lucu tapi anehnya sedih, karena mereka tahu, Liz tak mau lagi bertahan, sebab hanya satu caranya sembuh, yaitu keinginan Liz sendiri. Di sisi lain, ada tokoh Liam yang ternyata diam-diam menyukai Liz. Walaupun Liz sang cewek populer yang dingin dan kejam, dia paham Liz juga menginginkan hal-hal indah.


“….Dia tinggal di dunia yang seluruhnya adalah langit.
Tak dapat dipercaya, bahwa suatu hari kelak, dunianya akan menjadi demikian kelam dan demikian berjarak, sampai-sampai ketika dia menengadah, dia tidak bisa menemukan cahaya bintang.”

Buku ini adalah buku paling bagus yang pernah aku baca. Sebab, akhir-akhir ini saya mencari buku yang punya setting bunuh diri atau perasaan ingin demikian. Buku ini sangat mewakili hal-hal yang seringkali tidak orang sadari, bahwa semua orang di dunia ini manusia. Tidak ada salah pengetikan, walau bahasanya cenderung rumit karena menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku sampingan, aku berani memberikan penilaian setinggi-tingginya karena buku ini menceritakan semuanya dengan amat pas, sedih yang mendalam dan pesan untuk tetap hidup seorang Liz, bahwa banyak orang yang menyayanginya. Tampilan buku juga sama selayaknya mobil Liz yang berwarna merah (Merchedes). Ada beberapa kutipan antara tokoh aku dan Liz yang punya kias indah, seperti pada kutipan sebelumnya. KIlas balik tentang kota Meridian terpampang begitu ngena dan sesuai untuk karakter anak remaja. Mabuk-mabukan, menghina, menhajar orang, dan Liz sendiri sebagai tokoh keras juga tahu bahwa itu salah, maka dia bunuh diri.



Tidak ada kekurangan menurutku di buku ini. Saking bagusnya, sangat disayangkan epilognya cukup sedikit karena aku bahkan berusaha membaca ini perlahan-lahan agar tidak cepat selesai. Aku ingin bisa menikmati kisah Liz di saat diri sendiri memang sama, tak tertolong atau bahkan larut serta merasa kasihan terhadap hidup orang lain.

Jika kalian punya keinginan bunuh diri, sangat tidak disarankan untuk membaca ini. Bacalah buku ini untuk kalian yang mengaku berhati baja dan berada di suasana hati yang baik. Buku ini akan merayapi kesedihan cerita Liz yang bahkan membuat seluruh bagian saraf otak akan terisi dengan kata-kata menyedihkan karena belum selesai membaca hingga tuntas. Dibanding mengambil banyak sarat makna tindakan, buku ini lebih tepat sebagai intropeksi diri, bahwa kita tak pernah sendiri. Selalu ada langit yang indah dan orang-orang yang bahkan diam-diam tak pernah ingin kita pergi.

Re-reading? Yes.
Rating: 5/5



cr: @sherenal

Sabtu, 28 April 2018

Resensi Novel Sudut Mati



 Kamu bisa seperti itu. Nggak terbenam dalam duka terus-menerus karena dunia ini nggak pernah melihat kamu sedang apa. Dia terus berputar dan tak ada jalan kembali. Jadilah orang yang bisa mengambil keputusan dalam kondisi berat sekalipun. - hal. 304


Resensi Novel

Judul: Sudut Mati
Nama penulis: Tsugaeda
Penerbit: Bentang
Tahun terbit: 2015
Cetakan ke: 1
Kategori: Novel
Jumlah halaman:344

Tsugaeda merupakan penulis novel thriller yang mana sudah menerbitkan beberapa buku, contohnya Rencana Besar dan Sudut Mati. Nama panggilannya Ade. Mintanya di bidang novel ini, pun diimbangi dengan bekerja sebagai manajer investasi.

Dalam penuturan Tsugaeda, inti khasnya tidak begitu jauh dari penulis pada umumnya. Sehingga, yang awalnya saya pikir, bahwa penulis laki-laki itu nggak penuh selera. Namun, ini menyadarkan saya. Penulis ini menunjukkan intisarinya dengan sangat tepat, tidak berbelit-belit, dan runtut. Penggunaan kata-kata menurut saya pun sangat nyambung dan efektif. Bahasanya mungkin terkesan berat, sungkan, dan bagi anak remaja, pastinya kurang paham sebab menceritakan hal berbau politik lebih dalam.

Jika sudah membacanya, tentu kita akan merasa sangat takut, tengiang-ngiang, bagaimana setiap aksi selalu membekas di memori. Kejadian-kejadian yang membuat sangat terinpirasi, dan penuh waspada. Dalam arti, inspirasi itu, membuat kita tahu, bahwa berkorban merupakan satu-satunya cara untuk membantu satu sama lain. Haru, rasanya menuduh, dan sakit tersendiri, bisa dirasakan laat-lamat.

Menceritakan tentang kehidupan berpolitik antara Sigit Prayogo dan Ares Inco. Anak dari Ares Inco, Kevin, dengan tampangnya, menraik pikat putrid Sigit Prayogo untuk mengelabuhinya. Semua tak berlangsung dengan baik. Di sisi lain, Titan, anak ketiga Sigit pulang dari Amerika. Titok yang tahu bahwa Titan mulai mengambil alih perusahaan ayahnya (yang seharusnya diwariskan pada Titok), pun marah. Ia (Titok) yang baru dari penjara setelah dikabarkan melakukan penyiksaan kepada istrinya, kemudian tak segan-segan pergi memergoki Titan. Dan saat itulah, Titok menyadari ada yang menghalangi.
Dalm kondisi itu, Titan disekap di rumah Kevin, menyuruhnya memberi seluruh harta Sigit Prayogo. Titan sudah berkomplot dengan adiknya; Teno yang dipenjara karena dirasa kurang waras. Ia adalah harapan terbesarnya, yang akhirnya membuat semua berantakan. Pertengkaran terjadi. Tiara disekap disana pula, di ruang berbeda karena kepergok Kevin akan pergi dari rumah. Perang besar tersebut, sudah dimulai pada waktunya.

Keunggulan: Tidak ada yang namanya salah ketik. Pengunaan bahasa asing cukup memberi kita beberapa ilmu mengenai hokum. Kita menjadi tahu bahwa dunia politik memang tidak semudah seperti angan-angan, melainkan perlu banyak taktik. Penggunaan layout sangat bagus. Terlihat cukup seram. Kata demi kata sangat menarik, apalagi jika sudah menyangkut konflik. Dijamin tidak akan bosan. Terdapat pembats buku, tokohnya sangat kuat, latarnya jelas, sertapunya banyak unsur intrinsik baik sesuai kaidah kepenulisan.

Kekurangan: Beberapa kata yang dituliskan dalam manifesto Teno, ada yang kurang dipahami. Pegunaan kalimat di awal ceritan sangat membuat bosan, sebab hanya menurutkan bagian perkenalan yang membingunkan. Penggunaan sampul buku kurang, karena menurut saya terlalu simple maupun warna tulisan kurang menarik.

Cerita ini disarankan untuk orang yang berusia lebih dari lima belas tahun karena beberapa terjadi kekerasan fisik, yang mana tidak baik jika dibaca oleh anak-anak. Bagi kalian yang sudah membacanya, tentu akan mendapatkan kesan sendiri. Menantang, dan terus-tersuan membolak-balik halaman hingga selesai. Mungkin ini novel thriller dalam bentuk cetak pertama yang saya miliki, namun ini sangat membekas dan keren untuk saya.