Pages

Senin, 19 Juli 2021

Resensi Buku The Art and Science of Personal Magnetism oleh Theron Q. Dumont

 Resensi Buku The Art and Science of Personal Magnetism

 


--photo and review credited to @sherenal


Judul: The Art and Science of Personal Magnetism

Penulis: Theron Q. Dumont

Penerbit: Bright Publisher

Cetakan ke: 1

Tahun terbit: 2020

Tebal buku: 144 hal

Kategori/Genre: Nonfiction, Self-Improvement

 

 “Perilaku yang cenderung membuat seseorang menjadi kuat merupakan perilaku mental positif, sementara yang cenderung membuat seseorang menjadi lemah merupakan perilaku mental negatif.”-hal. 74

 

Buku ini merupakan series self improvement yang diterbitkan oleh Bright Publisher. Seriesnya rata-rata menceritakan tentang mental, salah satunya buku ini. Buku ini sudah diterjemahkan di ratusan Bahasa, bahkan penulisnya: Theren Q. Dumont sudah membantu banyak orang dalam pekerjaan dan kehidupannya yang cenderung bermasalah.

 

Cara penyampaian buku ini menggunakan sudut pandang orang pertama, pembaca juga diajak berbicara lewat buku ini. Setiap babnya punya pembedaan khusus yang dituntun ke topik utama, kemudian penyelesaian masalah, diakhiri dengan peyakinan tentang topik yang dibahas. Esai yang dibuat Theren Q. Dumon ini didukung dengan berbagai ilmu scientific dan pengalaman yang mengonkretkan bacaan di dalamnya. Buku ini seperti merangkum semua hal yang sudah diriset dengan harga murah, tetapi manfaatnya mahal.

 

The Art and Science of Personal Magnetism adalah buku yang membicarakan tentang seni dan ilmu magnetisme dari orang lain ke diri kita, begitupula sebaliknya. Buku ini membahas keterkaitan listrik, saraf, dan otak, yang  bisa mempengaruhi orang lain. Daya Tarik fisik dan mental adalah kolaborasi yang dibutuhkan, sehingga bisa menghasilkan aura yang kuat dan membuat orang lain mau dipengaruhi dengan mudah jika kita mempraktekkan terus-menerus di cermin dan menginginkannya. Ada pelatihan saraf, bahkan seperti perengangan yang jadi hal sepele. Menenangkan diri bisa jadi backup untuk bisa mengattack balik seseorang. Banyak kata kuncinya di sini.  

 

Aku tidak mengerti, kenapa buku rumit yang sukar dipahami dan cenderung diberikan rating rendah (karena terjemahannya mempusingkan) bisa membuatku menyukainya. Topik-topik berat, kemudian disusul kalimat keseharian membuat buku ini nyaman dibaca. Cover buku di series ini sangat bagus, bahkan harga yang affordable sangat memungkinkan kita memiliki semua serinya. Buku ini bisa jadi terapi untuk orang yang punya masalah dengan sosialnya. Ada contoh-contoh konkret kehidupan di Paris, tentang orang yang ditendang, diperlakukan semena-mena, pula contoh pebisnis dan orang-orang berpengaruh yang bisa menjadi orang disegani. Buku ini seperti buku rahasia yang memberikan kita ilmu yang kita tidak sadari. Selayaknya: bukankah penciptaan saraf kalua diteliti akan jadi hal kompleks dan hebat? Banyak penyadaran lainnya untukku, seperti untuk mengategorikan hal positif dan negative, dan hanya melakukan yang positif, kemudian jika kita tidak bisa memberikan pengaruh daya Tarik kuat, kita bisa menyangkal bila tak bisa mempengaruhi. Semua juga sesederhana jika kita melawan balik kalimat atau Tindakan buruk yang selama ini kita lakukan.

 

Aku hanya menyayangkan kutipan professor atau riset yang terlalu sukar dibaca sehingga kepala jadi makin pusing. Namun, bisa diatasi dengan melewatkannya ke kalimat berikutnya. Kemudian, fakta bahwa ada hal yang tidak bisa kita lawan dalam kehidupan sehari-hari: orang berbadan besar, punya senjata, daya Tarik dan mental ini akan mudah ciut dan tidak bisa dipraktekkan, kecuali hanya menyangkal. Walaupun ini worth it, walaupun tidak semua peduli betapa kerasnya mencoba, hal ini akan punya keberhasilan tinggi if we believe. Pikiran bisa jadi rem penghalangan terbesar.

 

Untuk orang yang punya mental ciut, bisa banget baca buku ini. Jangan merasa rendah terus, anggap dirimu lebih tinggi, anggap dirimu putri raja. Sikap kita bergantung dengan apa yang kita pikirkan. 

Selasa, 29 Juni 2021

Resensi Novel Intelegensi Embun Pagi oleh Dee Lestari

 Resensi Novel Intelegensi Embun Pagi



--photo and  review credited to @sherenal 


Judul: Intelegensi Embun Pagi

Nama penulis: Dee Lestari

Penerbit: Bentang Pustaka

Tahun terbit: 2016

Cetakan ke: 2

Tebal buku: 710 hal.

 

“Kita itu bergerak seperti satu tubuh, Le. Kalau ada di antara kita yang keminter, bikin rencana sendiri, semua kena getahnya.”-ha 416

“Kamu mungkin ndak percaya dengan ucapanku sekarang. Tapi semua yang terjadi dalam hidupmu adalah yang terbaik.”-hal 526

 

Penulis fenomenal yang membuat karya Filosofi Karya dan Perahu kertas ini memiliki nama asli Dewi Lestari. Banyak karyanya yang telah diladaptasi dalam karya lebar. Intelegensi Embun Pagi sendiri termasuk lanjutan bahkan seri terakhir setelah KBPJ, Akar, Petir, Partikel, dan Gelombang. Semua kisah itu menjadi satu bahasan utuh dalam Intelegensi Embun Pagi.

 

Aku sudah pernah membaca ini saat usiaku 14 tahun, kelas 9 SMP. Kemudian aku membaca ini untuk kedua kalinya. Saat itu aku membaca bisa dalam waktu 9 jam, tidak bisa dipungkiri cara penulisan Dee Lestari yang punya ciri khas sendiri. Banyak istilah dan riset tersirat dalam novel ini. Kosakatanya beragam. Tokoh yang superbanyak dalam novel ini bisa punya karakter kuatnya sendiri, mulai dari cara bicara, pola pikir, perasaan mereka, menjadikan supernova ini betulan terjadi. Menulis buku berbobot dan tebal, seperti ini bukanlah hal mudah.

 

Singkatnya, ini tentang Peretas, Infiltran, dan Sarvara. Peretas dan Infiltran berada di satu kubu. Sedangkan Sarvara kerap dianggap anjing penjaga yang mengurung Peretas. Baik buruknya tergantung dilihat dari kubu mana. Setiap peretas dibentuk seamnesia mungkin kemudian ingatan mereka akan menuntun menemukan jawaban. Mereka harus minum Ayahuasca dulu untuk mengingat kisi pemicu ingatan mereka pula untuk masuk Asko (di mana setiap Peretas ini harus menjaga kandi mereka di Asko dan harus bergerak bersama, tak boleh ada satu pun berkhianat agar berhasil). Diawali dengan Gio (Kabut) yang ke Indonesia untuk menilik kasus Bintang Jatuh (peretas gugus sebelumnya yang timnya hancur), kemudian Bodhi (Akar) dan Elektra (Petir) yang sama-sama ingin menemukan jalan untuk mempergunakan kekuatan mereka, tetapi justru terpergok oleh Sati (Sarvara), kemudian ada Alfa (Gelombang) yang bersebelahan dengan Kell (Infiltran) hingga mengetahui siapa dirinya, lalu Zarah yang terus mencari keberadaan ayahnya Firaz yang hilang di Bukit Jambul, meninggalkan jurnal peretasnya dari gugus sebelumnya yang gagal. Perjalanan mereka yang mulai bisa mengingat kemudian diburu Sarvara untuk menghancurkan kandi mereka, diiringi Infiltran dengan 1001 perkiraan dan kemungkinan supaya Peretas bisa bergerak sesuai alur.

 

Aku sangat suka dengan cover bukunya yang ajaib punya efek seperti kaset (pelangi). Buku setebal ini juga kuat sekali, tidak ada lembar satupun yang lepas mengingat usianya sudah 4 tahun kubuka. Seperti yang kubilang sebelumnya, tokohnya kuat dan penuh riset. Bisa juga termasuk multiple genre. Setiap peretas selalu punya kisah yang rumit dan Dee Lestari menjadikannya runtut. Contohnya memunculkan tokoh, seperti Toni, Reuben, Dimas, teman  seperkomplotan Elektra, dan masih banyak lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-satu, tetapi peran mereka tetap ada. Dialog-nya juga memungkinkanku untuk bisa memahami dan melanjutkan halaman demi halaman. Rasa gregetan, gantung, dan takut pula kurasakan sehingga penasaran. Ada perpaduan berbagai Bahasa di sini, seperti Mandarin, Perancis, dan Inggris. Novel ini juga membuktikan selalu ada kesempatan untuk berhasil bahkan walaupun mustahil dan terkadang, drama dan masa lalu bisa jadi penghalang, konsep memaafkan dan menerima.

 

Aku sempat amnesia novel ini bercerita tentang apa. Sebab, alurnya yang bolak-balik ke setiap individu dengan tiap masalah dan keterkaitannya memungkinkan pembacanya lupa apa yang terjadi belum lagi istilah-istilah yang harus dicerna baik supaya paham. Yang jadi pertanyaanku adalah, siapa dalang di balik mereka yang kejar-kejaran.

 

Novel fantasi ini cukup worth it dibaca karena memang beda dari yang lain. Terlebih lagi yang punya pemikiran kritis, berat, atau butuh ide memparafrase paragraf supaya berisi, karya ini mungkin bisa jadi referensi sekaligus bahan belajar yang mengisi waktu luang dengan kekompleksan ceritanya. Bisa jadi novel ini ada turunannya, but well siklusnya sama dengan tiga tokoh utama epic ini (Peretas, Infiltran, dan Sarvara).

 

 

 

 

 

Selasa, 08 Juni 2021

Resensi Novel Someday karya Winna Efendi

 


--photo n review credited to @sherenal


Judul: Someday

Pengarang: Winna Efendi

Penerbit: Gagasmedia

Cetakan ke: 1

Tahun terbit: 2017

Tebal buku: 400 hal.

Genre: Fiksi remaja

 


“Kita akan memiliki versi-versi diri yang berbeda saat bersama orang-orang yang berbeda pula. Tapi, hanya dengan orang yang tepatlah kita akan menjadi versi yang terbaik dari diri kita sendiri.”-hal 355

 

Karya Winna Efendi sudah banyak yang diterbitkan, dan aku jatuh cinta dengan setiap karyanya. Dari Happily Ever After, kemudian Someday (yang ada sedikit hubungannya dengan kisah Happily Ever After). Membaca buku Someday untuk kedua kalinya membuatku menemukan hal-hal yang belum tercerna baik, dan menyadari alasan mengapa aku bisa memfavoritkan novel ini di antara novel lainnya. Ceritanya serupa dongeng yang nyata, mengalir, dan selalu punya amanat baik kepada pembacanya.

 

Dalam novel Someday menggunakan sudut pandang orang pertama. Setiap partnya pasti ada istilah dan arti dalam Bahasa Inggris. Alur ceritanya maju dan sama sekali tidak buru-buru. Winna Efendi melakukan “show” not “tell” dengan sangat baik sehingga tokoh dan kisah di dalamnya jelas seperti nyata terjadi. Halaman yang menyentuh 400 ini tidak berat dan tidak ringan, sehingga cukup menyenangkan dibaca mengetahui kasus ceritanya yang pelik.

 

Walaupun ini novel remaja, aku tidak merasa seperti novel wattpad yang terlampau bucin, tetapi justru berisi. Terkadang gemas dengan tokoh Art yang egois nan toxic dan nelangsa sendiri terhadap apa yang dirasakan Chris. Bukannya menghakimi, aku seperti merasa yang dialami Chris sangat berat, saat tak ada satupun orang yang bisa menyelamatkannya dari kehampaan, kegelapan.

 

Ini adalah kisah Chris yang suka berenang. Ia mempunyai sahabat bernama Milo (satu klub) yang sudah bersamanya sejak kecil. Chris yang tomboi dan selalu kena remedial, sedangkan Milo yang popular, pintar, dan tak mudah menyerah. Satu detik bagi Milo bisa membuatnya menang. Kemudian Art datang, hanya ingin melihat pertandingan Rita di SMA Harapan—justru fokus dengan Chris. Puisi Sapardi Djoko Damono, toko barang antik, hadiah, dan mimpi masa depan membuat Chris yang tak percaya dengan cinta mulai berdebar jika bersama Art. Di lain sisi, Milo berpacaran dengan Mel. Keluarga Chris yang berantakan, adiknya yang punya masalah perkembangan, dan Chris yang kena korban fisik Art, menjauhkannya dari dirinya yang dulu. Suka menangis, membohongi banyak orang bahwa dia baik-baik saja, tidak punya tempat untuk bercerita, menjadikan mimpinya tak lagi ada. Ia sendiri takut melihat dirinya sendiri.

 

“Hanya karena seseorang telah melukaimu, bukan berarti kamu juga harus melukai dirimu sendiri”-hal 355


Dalam novel ini, aku bisa merasakan diri Chris, perasaanya, hal di sekitarnya, yang membuatku sama sesaknya. Kejadian ia yang hanya melihati kolam renang dan melihat teman-temannya yang dulu dia ada di sana, membuatku ngilu. Hobi klub renang yang makan pizza di Sixties, kemudian membeli barang lebih dari 400.000 serupa mengeluarkan uang tanpa pikir panjang membuatku merasakan kehidupan aesthetic orang kaya yang menjadikan novel ini mirip kisah/film di luar negeri. Kegiatan menyenangkan dan jati diri Chris mengingatkanku untuk punya hal serupa layaknya hari produktif. Amanatnya banyak sekali. Cover buku yang mencerminkan isinya, dan isinya yang berkualitas membuat novel ini sempurna.

 

Hanya kutemukan typo satu huruf, kemudian aku menyayangkan bagian awal cerita ini yang sedikit membosankan karena mungkin awalan penjelasnya panjang, tetapi membantu menerangkan/memperjelas ketika sampai di konflik atau pertengahan.

 

Di lain itu, novel ini bagus untuk dibaca semua kalangan umur. Novel ini juga bagus karena menyinggung mental illness, perasaan kacau—kecemasan, yang menuntun pembaca sama-sama menemukan solusi.

 


Rabu, 26 Mei 2021

Resensi Novel The Coldest Boyfriend karya Itsfiyawn

 



--photo n review credited to @sherenal


Judul: The Coldest Boyfriend

Pengarang: Itsfiyawn

Penerbit: Melvana

Tahun Terbit: Mei 2017

Cetakan ke: 8

Tebal buku: 392 hal.

 

“Hidup itu bukan seberapa berat cobaan yang kamu alami, tapi seberapa tegar kamu menghadapi dan seberapa pintar kamu mengambil hikmah.”-hal. 218

 

Fiatuzzahro atau dikenal dengan username itsfiyawn adalah penulis wattpad terkenal dari Jakarta. Karyanya telah dibaca jutaan pembaca. Novel bergenre fiksi remaja ini merupakan bacaan ringan yang bisa merelakskan atau penghambur waktu yang baik untuk me time.

 

Penulisannya menggunakan sudut pandang ganda dan bahasa keseharian remaja sehingga mudah dipahami dan ceritanya mengalir untuk kategori hampir 400 halaman. Perasaanku membaca ini juga cenderung gemas sebab sudah jarang sekali membaca novel bucin. Tentunya novel ini punya ciri khas novel dambaan yang mana tokohnya keren-keren. Poin pokoknya judulnya sesuai dengan isinya, tokohnya kuat, dan sesuai dengan keseharian anak muda pada umumnya—family, friends, love, school, cafĂ©.

 

“Aku sudah terlanjur jatuh, Sena. Aku sudah membeku dalam kurun waktu cukup lama di kastil esmu. Sinarku belum cukup mampu melelehkan dinginnya kamu, tapi aku terus berusaha.”-hal. 128

 

Ini tentang Kenarya Hechira yang dipertemukan dengan Sena Putra Dirmaga secara tiba-tiba, dan Kena kena love first sight pada sosok dingin itu. Kena adalah ketua PMR dan gadis yang disukai banyak lelaki, Sena adalah cowok dingin anak mading bawahan Arin (teman sebangkunya Kena). Selain bermusuhan dengan Vanya—yang suka dengan Sena, Kena juga harus berjuang untuk mendapatkan Sena sekalian taruhan dengan Arin agar ketua mading itu makan durian. Sikap Sena ternyata bukan tanpa alasan. Dia belum memaafkan masa lalunya yang kehilangan mamanya dan sakit hati akan papanya saat kecil itu ia sibuk sendiri. Saking peliknya, bahkan walaupun Sena dan Kena sama-sama suka, keduanya terkena masalah lebih besar lagi, yang mengakibatkan Sena menyerah nan merasa tak pantas, dan Kena yang lelah mengerti pula mengejar.

 

Novel ini dari awal sudah seru, apalagi menjelang konflik dan ending yang membuat napas pembaca naik turun. Tidak ditemukan salah kata, ada beberapa kutipan spoiler per partnya. Aku suka banget pas cowok dingin kayak Sena bisa periang saat Bersama Kena—hal yang ditunggu pembaca. Friendship atau lebih tepatnya couple date antara Sena-Kena dan Rio-Arin dan kehidupan mereka sebagai anak remaja sangat relate mengingat aku baru lulus SMA. Masalah Sena tentang mental health juga bisa dikatakan membuat novel ini semakin ramai, pula masalah lainnya memberi aware tersendiri terhadap pembaca.

 

Sebagai anak yang pernah SMA, alur di novel The Coldest Boyfriend sangat jarang ditemukan. Realistis saja, ada beberapa yang kurang logis dan tiba-tiba sehingga ada di beberapa bagian stres merealitakannya (mungkin aku saja yang over reacted). Sudut pandang yang beragam juga sulit membuatku konsen. Adapula sikap Sena yang cenderung childish dan Kena yang terlalu sabar membuatku pengin ketemu tokohnya langsung untuk menceramahi. Namun, kekurangan tersebut tertutupi dengan permasalahannya yang pelik sampai cepat kuselesaikan saking menariknya.

 

Rekomendasi untuk anak SMP maupun SMA. Pasti sangat suka dengan novel yang bikin baper ini. Bahkan orang tua yang pengin belajar perasaan anak muda—susah dimengerti juga bisa baca. Novel ini ternyata juga ada sekuelnya judulnya “If I Can’t”. Secara keseluruhan, aku lumayan suka dan dari novel ini pula spoiler sekuelnya, aku sadar bahwa kita lambat laun dewasa. Setidaknya, masa muda yang berlika-liku itu bisa jadi kenangan indah dan hikmah kehidupan kita.


Sabtu, 24 April 2021

Resensi Novel Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye

 RESENSI NOVEL HAFALAN SHALAT DELISA

by sherenal_

 




Judul: Hafalan Shalat Delisa

Nama penulis: Tere Liye

Penerbit: Republika

Tahun terbit: 2016

Cetakan ke: 27

Tebal buku: 266 hal.

 

“Jangan pernah lihat hadiah dari bentuknya, lihat dari niatnya insyaAllah hadiahnya terasa lebih indah. Ah iya, Ustadz Rahman juga pernah bilang: kita belajar shalat hadiahnya nggak sebanding dengan kalung, hadiahnya sebanding dengan surga.”-hal. 33

 

Tere Liye adalah penulis best seller terkenal di Indonesia, bahkan banyak karyanya sudah di-film-kan—mencapai jutaan penonton pula, salah satunya Hafalan Shalat Delisa. Novel ini mengingatkanku pada buku pertama yang kupunya “Daun yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin”. Sama-sama memilukan dan tentunya relate akan hal kekeluargaan.

 

Aku tak habis pikir dengan cara dia menuliskan semuanya sebegitu mengalir. Tidak ada paksaan, runtut, kisah Delisa ini tidak kecepatan maupun bertele-tele/lambat. Pas. Sudut pandang Delisa di sini lucu sekali, ketikannya meliputi intonasi anak kecil sehingga pembaca turut gemas. Tere Liye menuliskannya seolah ia ada di kejadian Tsunami Aceh yang gempar belasan tahun itu, persisten, penuh penghayatan kuat sehingga perasaan kacau-bahagia tokoh-tokoh di dalamnya amat terasa.

 

Delisa adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Kakaknya Fatimah (usia 15 tahun), Zahra dan Aisyah (12 tahun—anak kembar). Delisa susah bangun subuh, ia juga kesulitan menghafal bacaan shalat walaupun sudah ada jembatan keledai dari Kak Aisyah yang suka menjahilinya. Demi seuntai kalung D untuk Delisa dari Ummi, pula sepeda dari Abi, Delisa ingin bisa hafal, khususnya saat penilaian shalat itu tiba. Namun, 26 Desember 2004 tsunami meluluhlantakkan kota Lhok Nga, Aceh tempat mereka tinggal. Abi yang bekerja di kapal asing seketika bergegas pulang, penduduk dan kota itu rata. Delisa hanya ingin shalatnya sempurna, tanpa terbalik-balik, bahkan saat sujud di penilaian shalat, ia turut hanyut menyisakan kenangan indah di otaknya yang tak pernah kembali.

 

Sampul bukunya bagus sekali, mencerminkan keluarga Delisa yang lengkap dan gugur. Kisahnya penuh riset nan detail, bahkan tokoh figuran seperti ibu-ibu di samping Delisa di rumah sakit bisa membuat pembaca turut tersedu sedan. Sungguh setelah kesulitan akan ada kemudahan. Itu Janji Allah, maha pemegang janji. Kejadian Abi menangis di tahajud dan Delisa yang berbicara di makam saudaranya ngilunya tak tertahankan. Aku sempat bertanya kenapa bencana datang di kota yang religius itu. Faktanya, kejadian ini jadi hidayah orang sekitarnya: Prajurit Salam dan Kak Shofi yang sebelumnya tak bisa memaafkan kehilangan. Hikmah bahwa manusia trahnya tak pernah sendiri. Ada ribuan malaikat yang menyaksikan ketulusan kita. Ada Allah yang maha pengasih pula pemaaf. Dalam karakternya, kedewasaan dan rasa ikhlas anak kecil bermata hijau (Delisa) ini membuatku malu. Ia lebih cepat menerima ketimbang Ummam bahkan abinya sekalipun.

 

Aku hanya sedikit terganggu dengan  footnote yang berisi reaksi atas cerita yang sedang seru-serunya. Walaupun ada beberapa typo, karya ini tetap hebat. Bahkan saking berisi/menginspirasi aku suatu hari ingin membacanya ulang. Kejadian serupa mukjizat mungkin terkesan kurang logis, tetapi seiring waktu hal tersebut justru jadi hal lebih, menjadikan cerita tak terlupakan, menyadarkan bahwa kita tidak pernah memiliki diri kita sendiri, tetapi kepunyaan Allah. Sesungguhnya semua musibah ini juga sesuai kemampuan hambanya dan Delisa memahami itu.

Senin, 21 September 2020

Resensi Novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata

 Resensi Novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata

resensi & photo credit by @sherenal





Judul: Sirkus Pohon

Pengarang: Andrea Hirata

Penerbit: Bentang Pustaka

Cetakan ke: 1

Tahun terbit: Agustus 2017

Tebal buku: 410 hal.

Genre: Fiksi umum

 

 “Dan tak ada yang lebih menyenangkan daripada berdekatan dengan orang-orang yang punya mimpi besar” -hal 71

 

Dua buku yang kupunya karya Andrea Hirata, Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas, yang mana di novel kali ini baru kusadari bahwa karya Andrea Hirata bukan sepenuhnya berat dan susah dipahami. Justru logat yang khas ini membuat cerita lebih estetis dan memang sudah sepatutnya mendapat penghargaan hingga jadi penulis terbaik se-Asia Tenggara.

 

Andrea Hirata sendiri menyelipkan bahasa melayu sebagai pengenalan budaya. Kata-kata yang digunakan kurasa langsung dari pembawaannya sepenuhnya, seperti pada umumnya “bertemu”, maka ia menuliskan “berjumpa”. Kata “oke”, jadi “ojeh.” Jika dipikir-pikir, pengulangan atau kebebasan pengungkapan Andrea Hirata yang bukan terkesan keterangan singkat punya kesan unik. Tidak ditemukan salah ketik, bahkan 5 bab yang terdiri dari 87 part membuat pembaca dapat masuk ke kalangan rakyat itu sendiri. Menemukan kilas-balik rakyat yang wilayah nun jauh di sana.

 

Ada beberapa tokoh utama yang menjadi sub poin berkaitan. Tentang Sobrinuddin panggilannya Hob si pekerja keras yang tak punya kerja tetap karena belum lulus SMP saja sudah dikeluarkan sebab sahabatnya Taripol. Tara juga Tegar yang saling terbayang sejak bertemu di pengadilan agama, taman bermain. Masalahnya kompleks, hubungannya dengan sirkus, si Hob punya kerja tetap jadi badut dan ingin menikahi Dinda (si penyuka delima), dan Tara beserta Tegar yang menemukan satu sama lain dengan cara masing-masing, entah 120 lukisan Tara untuk “Si Pembela” dan Tegar jadi mencari-cari gadis bau vanili. Hingga sirkus bangkrut tiba-tiba, Dinda yang hilang ingatan kata dukun karena delima nan akan meninggal, dan Tegar pula Tara yang berusaha realistis karena tidak pernah berjumpa satu sama lain hingga usia-nya 17 tahun.

 

Novel ini mengagumkan, bisa dibaca berulang kali karena kosakatanya yang sulit ditemukan di karangan penulis lainnya. Kisahnya anti-mainstream, kesederhanaan yang dibawa Andrea Hirata pada novel ini justru membawa khas sendiri sebagai rakyat Indonesia. Mulai dari kelumrahan dalam berita buruk/baik, Sifat pasrah, bodoh, atau kemenangan realistis masyarakat di sana, maupun dukun yang dianggap berpengaruh. Sesuatu yang menegangkan jika kesulitan pemahaman bahasa bisa dihindari. Sirkus pohon menceritakan lika-liku masyarakat yang tak ubahnya manusia penuh masalah.

 

“Bangun pagi, let’s go!”-Hob

 

Rating: 4.2 /5


Resensi Novel Recalling The Memory karya Sheva

Resensi Novel Recalling The Memory karya Sheva

resensi & photo credit by @sherenal



Judul: Recalling the Memory

Pengarang: Sheva

Penerbit: Penerbit Bental Belia (PT Bentang Pustaka)

Cetakan ke: 1

Tahun terbit: 2017

Tebal buku: 264 hal.

Genre: Teenfiksi

 

 “Setiap orang beda-beda, Sof. Kalau lo bilang gue tuts putih, lo tuts hitam, atau gue Midas dan lainnya itu, lo nggak akan lihat diri lo sendiri sebenarnya kayak apa. Lo hanya melihat ke gue dan yang lain, tapi tidak ke diri lo.” Romi, hal 100.

 

Awal beli buku ini karena tahun 2019 marak banget series belia writing marathon di wattpad. Series terbarunya saat itu juga aku ikut ngevote. Tapi, karena penasaran dan belum punya buku series apa pun karena kupikir bisa dibaca online, akhirnya beli juga. Sheva sendiri sebagai penulis sudah menerbitkan dua buku sebelumnya, yang salah satunya berjudul Memorabilia dan beberapa kejadian lumayan nyambung dengan cerita ini.

 

Dalam penyampaiannya, banyak banget narasi dibandingkan percakapannya. Penjelasannya didasarkan tahun yang mana ketahuan bahwa novel ini akan ada lintas waktu dari flashback yang cukup jauh, yaitu 8 tahun dari 2008. Aku seperti menemukan diri sendiri karena keperfeksionisan penulis spontan memberikan rasa de javu.

 

Aku ngebaca ini lumayan netral dan nyicil se-part satu hari dulu saat kelas 11 masa saat baca novel diam-diam ke kelas, sampai sharing ke teman. Yang paling mencolok adalah motivasi untuk selalu just do it. Adapula tentang pilihan yang kita tidak suka tapi harus dipilih, akhirnya akan jatuh ke keterpaksaan akan minat yang membuat semua jadi tidak begitu menyenangkan.

 

Ini tentang Sofia yang suka bermain piano di sekolah dan akhirnya bertemu dengan seorang Romi. Ayahnya ingin Sofia meneruskan firma hukumnya dan fokus les bahasa Belanda, bukan piano. Romi dan Sofia akan mendaftarkan diri dalam beasiswa eklusif four hands ke Juilliard, NYC. Mereka latihan bersama setiap pagi, sampai punya lika-liku tentang pacar Romi (Kikan) yang ketahuan bersama laki-laki lain. Lalu permasalahan muncul lagi ketika ayah Sofia jatuh sakit-sakitan serta piano di rumahnya yang dibuang, membuat Sofia harus memilih antara jurusan hukum di Belanda atau beasiswa piano bersama Romi yang dia sukai.

 

Bagusnya buku ini adalah pengetahuan tentang lagu-lagu piano. Istilah di buku ini juga bukan asal sebut, tetapi ada riset juga. “Great minds think alike” karena sepatu converse mereka yang samaan terus, intinya sesuatu yang logis dan berkelas. Herannya tiga kali di bagian terakhir aku lumayan sedih, dan tentu saja ada plot twistnya. Kekurangannya hanya sedikit membosankan jika dibaca sepenggal-penggal apalagi pas dibaca di kelas dulu campur aduk sama materi pelajaran. Baca momen terakhir yang tertunda di rumah jadi penutup buku Recalling the Memori paling baik.

 

I highly recommended buat yang suka sama hal berbau piano, kalian pasti auto connect. Untuk anak SMP atau SMA yang pusing milih kesukaan, kerumitan yang ada di dalamnya juga relate. Siap-siap catatan untuk mencatat motivasi yang munculnya bisa belasan kali atau lebih. Buku ini indah walau bukan tentang kerajaan, but that’s that I could expose.

 

Rate: 4/5