Pages

Jumat, 31 Desember 2021

Resensi Novel Double G karya Shelma Atira

 RESENSI DOUBLE G

photo and review credited to @sherenal_ 





Judul: Double G

Penulis: Shelma Atira

Penerbit: Penerbit Ebiz

Cetakan ke: 1

Tahun terbit: 2021

Tebal buku: 180 hal.

Genre: Fiksi remaja

 

“As humans, desire to help comes to us even if we don’t want to.”-part 8

“When you realize you deserve better, you can let go.”-part 20


“Lo tahu kenapa akhirnya cinta nyakitin lo? Karena lo ngizinin itu sampai sekarang. Lo mungkin bisa menolak cinta baru, tapi masalahnya ada di cinta lama. Lo perlu nutup hati dari dia, bukan orang lain.”-hal.111

“Bahagia sama sedih itu kita yang mutusin. Gue memutuskan untuk mengesampingkan luka dan rasa marah gue, gue menerima semua bentuk kekurangan gue. Penerimaan itu hadiah terbesar untuk diri gue sendiri setelah diri gue mau gue ajak berjuang.”-hal.145

 

Shelma Atira merupakan pengarang yang tertarik menulis sejak usia 13 tahun, yang berkutat dengan puisi, cerpen, dan novel. Novel Double G sendiri adalah novel solo yang terbit perdana. Double G sendiri adalah buah kemenangan pada Ebiz Batch 4.

 

Dengan sampul berwarna merah muda, ternyata novel ini mempunyai layout yang sangat cantik dengan jumlah halaman ratusan. Dengan jumlah 30 part, penulis menyertakan kutipan berbahasa inggris sebelum menulis cerita. Penulisannya beralur maju, menggunakan sudut pandang orang ketiga dan bahasa pergaulan remaja. Buku ini juga diselipkan pembatas buku.

 

Novel ini menceritakan Gea yang harus pindah-pindah sekolah karena masalah sosial dengan teman maupun orang lain demi kebenaran yang mengharuskan Gea untuk beradaptasi lagi. Semenjak ia mengendarai motor ke sekolah, ia tidak sengaja mencipratkan air ke laki-laki paling berbahaya di sekolah bernama Garvin yang akhirnya mengantarkannya pada hal-hal berbahaya. Ditemani sahabatnya Abel, Yenna, Disha, Bima, dan Cakra, Gea dihadapkan juga dengan permasalahan Yenna dan Cakra, ia sendiri juga tidak pernah usai berurusan dalam bahaya dengan seorang Garvin (anak kepala direktur sekolah), dan harus menyembunyikan segala aib maupun kekacauannya dari orang lain, termasuk mamanya.


Sebagai novel remaja, buku ini cukup ringan, tetapi juga sedikit berat mengingat kasusnya mengangkat tentang pencurian, kepolisian, dan narkoba. Penulis membuat setiap tokohnya mempunyai karakter yang kuat dengan alur yang sangat mengalir tanpa kecurigaan apa pun, bahkan salah tebak. Cukup banyak plot twist yang membuat pembaca bisa heboh, begitupula bagaimana kuatnya konflik antara Gea dan Garvin yang mengantarkan mereka berdua pada hari yang menegangkan dan mengkhawatirkan. Sampul buku maupun tata cetak bukunya juga dikatakan sangat menarik. Isi buku yang menyajikan cara kepenulisan maupun cerita yang berbeda dari yang lain memang sulit, tetapi penulis mampu menciptakannya dan mencammpurkannya menjadi novel yang sangat mengesankan. Karakter hebat dan terkesan keren atau jenius membuat novel ini sangat hidup, seperti Gea yang penuh masalah dan tak terkesan belajar keras tetap bisa mendapatkan kemenangan. Warsa dan Garvin juga termasuk tokoh favoritku.

 

Aku sedikit tidak nyaman pada penggunaan “tetapi” dan koma yang menjadikan kalimat seperti terpotong maupun terjeda. Adapula pembahasan pelajaran sekolah yang kurang dijabarkan dan terfokus pada masalah non akademik. Meskipun begitu, kekurangan kecil tersebut sama sekali tidak berarti mengingat selesai baca dalam 2 hari karena serunya novel ini dari awal sampai akhir dan memberikan amanat baru dengan kata-kata penulis yang mampu membuat pembaca terharu. Novel ini memadukan kisah-kisah masa lalu yang pahit dan mengantarkannya pada realita seharusnya.

 

Novel ini tentunya cocok sekali untuk orang yang butuh bacaan ringan, punya masalah sosial atau salah arah, bahkan pencinta wattpad dengan damage tokoh dan alur yang lebih berkualitas mengingat kompleksnya masalahnya. Karya tulis ini akan membuat kalian penasaran pada setiap halaman berikutnya dengan ending yang tak terduga.

 

 

 

Minggu, 26 Desember 2021

Resensi Buku How to Win Friends and Influence People karya Dale Carneige

 RESENSI HOW TO WIN FRIENDS AND INFLUENCE PEOPLE

 photo and review credited to @sherenal_





Judul: How to Win Friends and Influence People

Penulis: Dale Carneige

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan ke: 7

Tahun terbit: 2021

Tebal buku: 303 hal.

Genre: Non fiksi—Self Improvement

 

“Setiap orang dungu bisa mengkritik, mengutuk, mengeluh, dan sebagian orang dungu memang melakukannya.”- hal. 14

“Dalam relasi antar-pribadi, kita tidak pernah boleh lupa bahwa semua orang adalah manusia yang dahaga akan penghargaan. Itu adalah mata uang yang dinikmati oleh semua jiwa.”-hal.31

“Banyak orang gagal membuat kesan yang baik karena mereka tidak mendengarkan dengan cermat. Mereka begitu khawatir dengan apa yang mereka katakan selanjutnya sehingga mereka tidak membuka telinga. Orang-orang yang sangat penting telah memberitahu aku bahwa mereka lebih memilih pendengar yang baik daripada pembicara yang baik, tapi kemampuan mendengarkan lebih langka dibandingkan hampir semua sifat baik lainnya."-hal 97.

 

“Lincoln berkata, orang yang berniat menjadi pribadi yang terbaik tidak mau meluangkan waktu untuk argumentasi pribadi apalagi menanggung konsekuensinya, termasuk lepasnya murka dan kendali diri. Mengalahlah untuk hal-hal besar yang mungkin bukan hak yang kaudapatkan; mengalahlah untuk hal-hal kecil yang jelas merupakan milikmu. Lebih baik memberi jalan kepada seekor anjing daripada digigit olehnya dalam memperebutkan jalan. Bahkan jika kamu membunuh anjing itu, itu tidak akan bisa mengobati bekas luka gigitan.”-hal.128

“Hanya sedikit orang yang logis. Sebagian besar dari kita berprasangka dan bias. Sebagian besar dari kita dibutakan oleh gagasan-gagasan terdahulu, kecemburuan, kecurigaan, ketakutan, iri, dan keangkuhan.”-hal.137

“Semua orang punya perasaan takut; hanya orang yang berani meletakkan rasa takutnya dan terus maju, terkadang menuju kematian, tapi selalu menuju kemenangan.”-hal.214

“Mengajukan pertanyaan bukan saja akan membuat perintah lebih bisa diterima; seringkali malah melatih kreativitas orang yang Anda tanyai. Orang lebih bisa menerima perintah jika merasa menjadi bagian dari keputusan yang membuat perintah itu dikeluarkan.”-hal. 240

 

Dale Carneige adalah seorang penulis dan penyedia kursus pengembangan peningkatan berbicara di depan umum dan hubungan interpersonal. Kursus Dale Carneige sudah ada sejak tahun 1976 dan sekarang sudah tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dale Carneige merangkum banyak trik mahal yang terangkum dalam bukunya, salah satunya How to Win Friends and Influence People.

 

Buku How to Win Friends and Influence People ini mengandung empat bab penting, mulai dari Teknik Dasar Menghadapi Orang, Enam Kiat Orang Lain Menyukai Anda, Kiat Agar Orang Menyetujui Cara Pikir Anda, dan Menjadi Seorang Pemimpin. Dilapisi dengan sampul gold, buku ini menuliskan inti pada setiap bab atau topik yang dibahas. Buku ini juga menyisipkan banyak cerita dan surat-surat, serta menyimpulkan lagi dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris pada halaman-halaman terakhir.

 

Buku self-improvement ini menceritakan banyak kasus tentang cara mempengaruhi orang lain maupun mendapatkan teman, dengan sejarah tokoh-tokoh besar dan didikan dari Dale Carneige sendiri. Sebut saja Roosevelt, kemudian Woodrow Wilson, Lincoln, Emerson, Eastman, dan lain-lain. Intisarinya selalu merujuk pada hal yang sama: bersikap baik. Buku ini memberikan rahasia besar menghadapi orang, menjadi tokoh maupun teman yang baik nan disukai, cara menghadapi perdebatan, mendapat atau menghindari musuh, dramatisasi, dan menjadikan orang untuk mau menuruti kita dengan cara yang sangat sopan, dermawan, dan menarik.


Buku ini mempunyai nilai yang sangat mahal, mengetahui Dale Carneige menyebutkan ratusan lebih tokoh beserta kisahnya dalam bentuk paragraf yang langsung menceritakan hubungan sosial mereka tanpa perlu pembuka dengan kelahiran maupun orientasi lainnya. Rangkuman atau intisari yang diletakkan pada setiap bab memungkinkan pembaca menarik kesimpulan sesuai dengan harapan penulis. Penulis seolah berteman dengan banyak orang hebat dari berbagai belahan dunia, yang tahu cara atau mengambil celah dalam segala problematika nan bisa terus dipraktekkan hingga sekarang. Bahkan, buku ini tetap diperlukan mengetahui di era modern, semakin banyak orang yang bersikap individual  padahal trik kesuksesan bukan pada keangkuhan atau ketidakpedulian, tetapi sebaliknya. Aku mengetahui beberapa tokoh dari masa lampau, seperti perang dunia yang membuatku cukup kagum dan mendapat pengetahuan bagaimana jalannya diplomasi yang sesungguhnya. Kemudian paling penting, aku mengetahui bagaimana pola pikir orang sukses—ketenangan atau kepala dingin untuk membuat permasalahan selesai dengan cara sempurna.

 

Meskipun begitu, aku sedikit merasa bosan dan membacanya lambat mengetahui inti topik ini mempunyai kemiripan dengan bab lainnya, serta sebagai orang yang pernah dikucilkan dan bangkit, beberapa filosofi sudah pernah diterapkan sehingga kurang terkesan “wah”, tetapi buku ini tetap bernilai dengan caranya menjelaskan berbagai jenis permasalahan yang orang luar negeri rasakan maupun selesaikan. Aku juga menyadari bahwa banyak hal viral yang menginspirasi dan membuatku menangis, seperti Fathers Forget, bahwa yang anak beserta orang hanya butuh perhatian-kasih sayang-pengertian, bukan tekanan maupun perintah.

 

Buku ini cocok sekali untuk orang dari berbagai kalangan, entah itu ekonomi, sosial, bahkan komunikasi itu sendiri. Buku ini mengajarkan kesuksesan tanpa perlu mendapat gelar dari universitas ternama, mengetahui segalanya berada pada diri sendiri dan cara kita memperlakukan orang lain. Memiliki rencana yang cukup strategis dan baik (tulus), mendatangkan banyak hal baik pula. Ternyata tindakan maupun perasaan sesepele itu, tetapi hasil atau dampaknya luar biasa.

 

 

Kamis, 25 November 2021

Resensi Novel Tentang Kamu karya Tere Liye

Resensi Novel Tentang Kamu karya Tere Liye

photo and review credited to @sherenal_ 





Judul: Tentang Kamu

Nama penulis: Tere Liye

Penerbit: Penerbit Republika

Tahun terbit: 2017

Cetakan ke: 7

Kategori: Novel

Jumlah halaman: 524 hal.

 

“Ada banyak hal-hal hebat yang tampil  sederhana. Bahkan sejatinya, banyak momen berharga dalam hidup datang dari hal-hal kecil yang luput kita perhatikan karena kita terlalu sibuk mengurus sebaliknya.”-hal. 257

“Maka semoga besok beban di hati terangkat sedikit. Tidak usah banyak, sedikit saja tidak apa. Besok, besoknya lagi, biarkan waktu menyiram semua kesedihan hingga hilang tak berbekas.”-hal 384

“Tapi apa pun itu, di atas segalanya, aku tetap bahagia dan beterima kasih. Karena pada akhirnya, semua hal memang akan selesai, memiliki ujung kisah. Maka saat itu berakhir, aku tidak akan menangis sedih, aku akan tersenyum bahagia karena semua hal itu pernah terjadi.”-hal.409

“Mencintaimu telah memberikan aku keberanian, dan dicintai olehmu begitu dalam telah memberikanku kekuatan.”-hal 409

 

Sebelum aku membaca, aku tahu novel Tere Liye akan memberi banyak pengetahuan, mengetahui membaca novel lainnya, seperti Hafalan Shalat Delisa, Hujan, Daun yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin, Ceroz dan Batozar, punya banyak riset, bahkan masih berbekas akan konflik dan segala kejadian brillian.

 

Pada awal halaman, akan ditemukan daftar isi dengan 33 bab. Namun, selain tebal buku yang cukup banyak, terdapat beberapa surat dari Sri yang membawa perjalanan justru semakin utuh. Bersudut pandang orang ketiga, yang kisahnya ditelusuri oleh seorang pengacara. Narasi dengan paragraf penuh, sangat rapi, tidak dipaksakan, dan penuh penghayatan tokoh. Segala aspek dibawa oleh novel ini, mulai dari hukum, politik Indonesia, perekonomian global, keluarga, serta berbagai budaya lokal maupun mancanegara yang sangat kompleks. Perjalanan—lika-liku seorang Sri Ningsih, yang menyautpautkan konflik selama 60 tahun sungguh berbeda dari novel lainnya.

 

Bermula dari perusahaan hukum Thompson & Co yang meminta Zaman Zulkarnaen mengurus warisan triliunan poundsterling di perusahaan global, London, yang kemudian menelisik kisah Sri Ningsih dari lahir, hingga meninggal dunia. Kejadian di mana ibu kandungnya meninggal, ayahnya menikah lagi dan menghadirkan adik tiri bernama Tilamuta, tetapi ayahnya diketahui tidak kembali dari pelayaran di tengah badai. Sri Ningsih dibantu Ode, di lain waktu sering dipukul Nusi Maratta, tidak boleh pulang sebelum terkumpul uang banyak, sering menahan lapar, berjalan kaki puluhan kilometer, di usia masih belasan. Kejadian pilu lagi-lagi dimulai, satu per satu orang lenyap dari hidupnya, bahkan dilabeli sebagai anak kutukan. Ia memulai hidup baru mulai dari Pulau Bungin Sumbawa, Surakarta, Jakarta, London, bahkan Paris dengan memulai dari nol, hanya berbekal apa kemampuan fisik maupun otaknya. Kulit hitam, pendek, gempal, pekerja bangun pagi pulang malam, dengan ide cemerlang pengalaman demi pengalaman, pula masa kelam setiap tragedi maupun pembunuhan di hidupnya. Hidup tanpa dendam, kesabarannya, dan kebaikannya memberi arti untuk orang di sekitarnya, tetapi sayang badai tak pernah surut, begitupula masa lalu di ingatan.

 




Bukan hanya amanatnya yang super banyak, penjelasan mengenai budaya ini mampu diacungi jempol. Pasalnya, cerita di dalamnya tidak dipaksakan, ada saja ide mengenai guru penari, kemudian kegiatan penghargaan, latar belakang maupun ikonik negara yang membuat pembaca juga sama-sama berkeliling dunia. Kehidupan Sri Ningsih tak tak pernah disesali dan diikhlaskan, menyatukan banyak perasaanku, terlebih saat menjelang halaman terakhir. Mengetahui ini kisah 60 tahun terakhir, pertikaian konflik PKI, inflasi parah, serta pemberontakan, kemacetan, maupun adat-istiadat, seperti Betawi, India, Jawa, dan lain-lain masuk ke dalamnya. Banyak sekali plot twist, adegan luar biasa yang tentunya membuat pembaca penasaran. Jika surat umumnya panjang, bertele-tele dan membosankan, maka surat Sri Ningsih adalah kertas yang ditunggu-tunggu karena poin pentingnya ada di sana—membuatnya spesial. Sri Ningsih mempunyai banyak keluarga, kisah cintanya dengan Hakan yang sama tidak biasanya, kemudian warisan yang memberi banyak jawaban membuat novel “Tentang Kamu” semakin bernilai. Novel Tere Liye ini membuktikan ada novel yang sama mencerdaskannya, bahkan sampai ke sisi karakter, seperti buku pelajaran lainnya, bedanya dirangkap lebih menarik.

 

Tidak ada kritik berarti dariku, hanya penasaran mengapa Zulkarnaen tidak membaca semua surat itu dalam satu waktu supaya langsung tahu tempat inti dalam satu waktu, menghubungkannya, siapa tahu mampu meringkas waktu. Kemudian keharuan ini selalu dikaitkan dengan kematian yang membuat kisah Sri Ningsih ini membuatku sedikit kesal karena kasihan pada tokoh utamanya. Terakhir, aku juga mempertanyakan bagaimana Zulkarnaen bisa menyimpulkan kisah Lastri yang butuh penelaahan lanjut dan bukti valid lainnya. Di sisi lain, kisah ini tetap sangat menarik dan berarti, saat di mana dua ratus halaman selesai dalam satu setengah jam, napasku ditarik ulur menjelang ending cukup tidak terlupakan.

 

Dari halaman awal, sudah dirasa cukup berat. Memberi pengetahuan dari sisi hukum, kehidupan di luar negeri yang membuatku jadi sama-sama ingin menjelajah dunia. Aku sering tergelak menahan sedih bagaimana hidup Sri Ningsih tak pernah reda dari konflik. Semuanya selalu terkait kehilangan. Novel ini punya banyak sekali amanat, terutama pada kesabaran, bahwa seseorang tidak akan tersakiti sedikit pun selagi ia bersabar. Sosok yang tak pernah lupa dengan tanah airnya itu, membuktikan bahwa kesempatan memang selalu ada, inovasi dan setiap langkah besarnya akan menciptakan jejak tanpa kesia-siaan. Aku awalnya sempat heran dengan judulnya, mengapa tidak dijuduli “Sri Ningsih” saja, tetapi sosok atau titik bahagialah yang membuatnya berarti dengan judul itu.  Cocok untuk semua umur, terlebih untuk anak jurusan Hukum. Kalian yang suka bacaan berat atau ingin menguasai lebih banyak sudut pandang juga direkomendasikan membaca “Tentang Kamu”.

Rabu, 10 November 2021

Resensi Novel The Dog Who Dared to Dream oleh Hwang Sun-Mi

Resensi Novel The Dog Who Dared to Dream

photo and review credited to @sherenal_



 Judul: The Dog Who Dared to Dream

Nama penulis: Hwang Sun-Mi

Penerbit: Penerbit Baca

Tahun terbit: 2020

Cetakan ke: 1

Kategori: Novel

Jumlah halaman: 258 hal.

 

“Lupakan perkataan itu. Tidak perlu dipedulikan. Kamu ya kamu. Tidak ada yang berubah.”-hal. 57

 

Hwang Sun-Mi adalah penulis best seller dari Korea Selatan. Buku The Dog Who Dared to Dream adalah salah satu karyanya yang laris hingga diterbitkan dan diterjemahkan ke berbagai mancanegara, bahkan mendapatkan awards di London. Aku membeli buku ini secara online karena terpikat dengan cover maupun sinopsisnya—novel sudut pandang hewan pertamaku.

 

Buku bercover biru tua ini memiliki ilustrasi pada setiap pergantian partnya. Pemaparan cerita dari Hwang Sun-Mi mengisahkan secara runtut dan pada intinya. Penulis menyisipkan unsur Korea termasuk panggilan dan istilah, seperti pada hal. 205: makgeolli (alkohol tradisional Korsel dari fermentasi beras). Sesuai yang diduga, ini serupa fabel karena didasari sudut pandang hewan, termasuk perasaannya sebagai makhluk hidup.

 

Buku ini menceritakan seekor anjing bernama bulu panjang karena bulunya yang hitam sekaligus panjang hingga menutupi mata. Tak ada satu pun saudara maupun orang tuanya yang memiliki bulu seminoritas itu, sehingga orang tua termasuk saudaranya cenderung tidak mau berbagi makanan dengannya, dan bulu panjang harus mencari waktu yang tepat. Kemudian pada musim dingin, seorang pria penjual binatang mengadakan penawaran dan ditolak oleh majikannya (Tuan Pita Suara) sehingga terpaksa dicuri dengan menaruh racun pada daging santapan. Ketika semuanya pingsan, hanya bulu panjang yang sadar karena ia tidak memakannya sama sekali. Penculikan itu membuat anjing bulu panjang kesepian. Namun, takdir membuatnya bertemu dengan anjing jantan putih (pemimpin) dan cokelat (pemburu) yang kemudian menciptakan harapan baru.

 



“Luka membuat anak-anak belajar dan menjadi dewasa.”-hal. 197

 

The Dog Who Dared To Dream adalah novel ringan yang membuat hariku lebih tenang. Awalnya aku takut membuka sampul plastik karena covernya terlalu cantik dan khawatir kertasnya menguning, tetapi baru kubuka harus robek terlempar karena amarah adikku. Buku ini membuatku tahu bahwa hewan sungguhan punya perasaan, bisa merasakan sedih, senang, takut, bingung, seperti manusia. Tata cara penulisannya rapi, termasuk elipisis, dan terjemahan yang sekiranya mudah dimengerti. Ada bagian di mana aku menyicil dan semangat membuka halaman demi halaman ketika hal pilu dan kebahagiaan bulu panjang hadir bergantian. Tercekat, khususnya ketika ia harus kehilangan saudaranya bahkan anak-anaknya. Hewan lainnya juga dimunculkan untuk memperkaya cerita, seperti kucing tua dan kakak ipar (ayam betina). Entah terjemahannya atau subjektifku, cerita ini cukup jenaka, melankolis, dan menginspirasi—memberikan sudut pandang dari manusia yang kadang menghakimi dan menyayangi hewan. Novel ini juga tanpa sadar memberikan wawasanku terhadap budaya Korea Selatan yang dilakukan keluarga majikan bulu panjang. Kehangatan dan kehidupan sehari-hari rasanya nyata terjadi bukan sekadar cerita, sehingga menurutku akan lebih bagus dan tergambarkan jika buku bestseller ini difilmkan.


Meskipun begitu, terjemahan buku terlaris ini terlalu ringan dibaca karena aku cenderung menyukai buku berat dan makna tersirat, walau ternyata makna tersirat paling besar buku ini ada pada halaman terakhir. Judulnya sedikit menjebak untuk siratan “karir” yang kupikir. Panggilan untuk hewan juga kurang tepat, seperti “kakak ipar”, “kucing tua”, “si hitam”, tetapi cukup membuatku tertawa dan bisa dipahami. Jumlah anak dari ibu bulu panjang, termasuk anak bulu panjang sendiri yang banyak membuatku sulit menghafal bahkan me-reka ulang, tetapi kisah masing-masing mereka bermakna.

 

Novel ini sangat cocok untuk pencinta hewan, khususnya anjing. Buku ini juga ada serial lainnya dari penerbit Baca: The Hen Who Dreamed She Could Fly. Ketika membaca pesan pribadi penulis, aku menyadari bahwa judulnya mengartikan bulu panjang yang ingin terus menantikan hal-hal baik hingga akhir hayatnya. Bukan bermimpi untuk merubah dirinya sendiri, tetapi kehadiran anjing atau keluarganya, termasuk manusia dan hewan lain. Kehangatan di balik pagar rumah itu menjanjikan sesuatu yang tidak perlu diceritakan, tetapi dirasakan dan dikenang selamanya.

Selasa, 17 Agustus 2021

Resensi Buku The Book of Ikigai

 Review Buku The Book of Ikigai

 




Judul: The Book of Ikigai

Penulis: Ken Mogi, Ph. D

Penerbit: Noura Books, PT. Mizan

Cetakan ke: 3

Tahun terbit: 2019

Tebal buku: 191 hal.

Genre: Non fiksi—Inspirasi

 

“Ketika Anda masih muda, Anda tak bisa memulai hal dengan cara yang besar. Apa pun yang Anda lakukan, itu tak banyak artinya bagi dunia. Anda harus memulai dari hal yang kecil”-hal. 57

 

“Dengan membebaskan diri dari beban diri, kita dapat membuka diri terhadap semesta tak terbatas dari kesenangan-kesenangan indriawi.”-hal. 74

 

“Flow merupakan kondisi ketika orang-orang begitu larut dalam satu aktivitas sehingga rasanya tidak ada hal lain yang penting. Pekerjaan itu sendiri menjadi tujuan, alih-alih sesuatu yang mesti dijalani sebagai cara mencapai sesuatu.”-hal 78

 

“Flow adalah tentang menghargai keberadaan jiwa raga di tempat dan waktu sekarang. Seorang anak mengetahui nilai berada pada momen sekarang. Sebenarnya, seorang anak memiliki gagasan pasti tentang masa lalu atau masa depan. Kebahagiaannya, terletak pada waktu sekarang.”-hal. 82

 

“Begitu Anda memperhatikan detail-detail kecil dalam hidup, tidak ada yang terulang. Setiap peluang itu istimewa.”-ha. 91

 

“Anda dapat mengejar kualitas terbaik hanya jika Anda berada dalam kondisi mengalir.”-hal.94

 

“Buatlah musik, meski taka ada seorang pun yang mendengar. Lukislah sebuah gambar, meski taka da seorang pun yang melihat. Tuliskani sebuah cerita singkat yang tak akan dibaca orang. Kesenangan  batin dan kepuasan akan lebih dari cukup untuk menyemangati terus hidup Anda.”-hal.97

 

“Taka ada gunanya berusaha menyerupai orang lain, meskipun ada tekanan dari teman sebaya. Jadi santai saja, dan jadilah diri Anda sendiri.”-hal. 176

 

Ken Mogi adalah peneliti otak, penulis, dan penyair dari Jepang, yang sudah menerbitkan lebih dari 100 buku. Aku sempat melihat salah satu konten edukasi yang mereview buku ini mengenai ikigai dan keterkaitannya. Hipotesis sebelumnya menurutku adalah bagaimana seseorang seharusnya hidup, sesuai dengan kepribadiannya, tetapi tidak melulu begitu.

 

Ada catatan awal untuk pembaca sebagai pembuka, 10 bab pembahasan menginspirasi, dan kesimpulan yang semakin menyakinkan pembacanya tentang apa yang sudah diperoleh, menemukan ikigainya. Ada pembatas indah yang berisi kutipan motivasi terpenting setiap babnya. Ken Mogi mengutarakan ceritanya dengan rinci, kemudian memusatkan intinya Kembali. Ia bahkan mengulas ulang baba tau topik sebelumnya, sehingga lima pilar ikigainya bisa tertanam di otak pembaca.

 

Buku ini berisi tentang ikigai (alasan hidup) dengan lima pilar: awali hari dengan hal kecil, bebaskan dirimu, keselarasan dan kesinambungan, kegembiraan dari hal-hal kecil, dan hadir di tempat sekarang. Diawali 1) Jiro Ono dengan restoran sushi terlezat walau sekali makan memang habis terlupakan, 2) Bangun pagi dengan kegembiraan kecil: senam atau minum teh, 3) Kodawari (standar personal yang memberikan khas): muskmelon 200$ dan mangkok yohen tenmoku, 4) Keindahan indriawi: meditasi buddha membebaskan diri, 5) Kreativitas: master anime Miyazaki dan pengolahan wiski, 6) Kelestarian: Kuil Ise dan Kuil Meiji nan ketenangan di dalamnya, 7)Makna Hidup: sumo dengan kekalahan beruntun dengan puncak sekitori, 8) Kebangkitan Jepang setelah perang dan bencana alam, 9) Datsusara dan comiket pameran cosplay, dan 10) Dua Manusia sama sekali beda.

 

Membaca buku ini sembari mendengarkan lofi bisa jadi ikigai sendiri untukku. Menenangkan dan membahagiakan. Walaupun sub poinnya banyak, begitupula dengan cerita nyata menginspirasinya, pembawaan Ken Mogi sama sekali tidak buru-buru, bukunya cantik dengan judul nan blurb sesuai, menambah ilmu segala aspek terutama budaya Jepang maupun banyak negara barat yang disebutkan mengetahui Ken Mogi sudah berkeliling dunia. Dengan harga menengah, buku ini membawa banyak filosofi hidup, sehingga sekali tahu kata “ikigai” aku sedikit tercenung.

 

Yang paling membuatku tertampar adalah penegasan waktu sekarang. Menikmati makanan enak juga termasuk ke dalamnya. Aku juga kaget dengan Jepang yang memiliki 8 Juta Dewa: bahkan bisa mengkolaborasikan agama Kristen, Budha, dan Shinto (agama Jepang) dalam satu individu. Ada lagi untuk menjadi biksu bukanlah hal menyedihkan, tetapi melegakan karena terbebas dari duniawi yang penuh persaingan terlebih hidupnya sehat, Ikigai sesungguhnya adalah ketika suka, kau akan melakukannya tanpa mengeluh bahkan tetap bahagia. Ikigai membuat seseorang tetap berdiri dengan senyum mantap tanpa pengakuan sosial, uang, pencapaian, sebab proses itu dilakukan senang hati.

 

Aku jadi punya pendapat rumor tentang bunuh diri di Jepang disebabkan orangnya tidak memiliki ikigai. Ikigai yang membebaskan berekspresi jadi apa pun, mengambil kesempatan di masa sekarang, sehingga tak ada penyesalan satu pun. Coba lihat banyak spektrum warna dunia nyata yang tak bisa dilukiskan. Ada hal-hal kecil yang bisa membuat kita tersenyum. Bahkan ada seseorang mengatakan bahwa hidup itu sia-sia, jadi carilah kesenangan. Bahkan warga Jepang memilih kerja daripada pensiun karena ikigai yang tertanam membuat seseorang ingin terus melanjutkan hidupnya.  Kemudian, untuk menjadi versi terbaik, tidak perlu menjadi diri orang lain karena menjadi diri sendiri yang punya otentik tak bisa disamakan akan jadi superpower tersendiri.

 

Buku ini bagus untuk orang yang selalu merasa dikejar dengan ekspetasi dunia. Ikigai menyediakan segala hal sehingga kehancuran pun tak berarti sehingga tetap bisa menjalankan hidup. Kekompleksan buku ikigai ini sulit dideskripsikan. Ketoleranan akan hal aneh (yang sebenarnya istimewa), kebahagiaan anak kecil, alasan menyenangkan tetap bisa membuat hari dan dunia ini punya arti berbeda.

 

 

Rabu, 04 Agustus 2021

Resensi Novel Le Petit Prince (Pangeran Cilik)

 Resensi Novel Le Petit Prince (Pangeran Cilik)


 



Judul: Le Petit Prince (Pangeran Cilik)

Nama penulis: Antoine De Saint Exupery

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: 2021

Cetakan ke: 19

Kategori: Novel, Buku Anak

Jumlah halaman:120 hal.


“Mengadili diri sendiri lebih sulit daripada mengadili orang lain. Jika kamu berhasil, berarti kamu betul-betul orang yang bijaksana.”—hal. 47

 

“Bahasa adalah sumber kesalahpahaman.”—hal.85

 

“Inilah rahasiaku. Sangat sederhana: hanya lewat hati kita melihat dengan baik. Yang terpenting tidak tampak di mata.”—hal. 88

 

Antoine De Saint-Exupery adalah penulis berbagai buku, salah satunya Pangeran Cilik yang membuat Namanya semakin besar. Ia adalah penulis sekaligus penerbang pesawat tahun 1900-an. Buku ini sendiri sudah diterjemahkan di berbagai bahasa.

 

Novel ini diselingi banyak gambar di antara kalimatnya yang tersirat. Buku ini mengingatkan orang-orang dewasa bahwa kita pernah kecil, agak sayang bahwa orang dewasa sulit memahami anak kecil begitupula sebaliknya. Orang dewasa lebih suka hitung-hitungan, ia selalu mengejar status sosial, di mana anak-anak tidak memerlukan hal itu. Hal kecil bisa membahagiakan untuknya.

 

Buku ini menyampaikan cerita dengan judul part angka romawi. Menceritakan perjalanan Pangeran Cilik yang berkelana dari asteroid miliknya: punya satu bunga angkuh, tiga gunung, dan pohon-pohon baobab menganggu. Ia bertemu dengan tokoh “aku” yang pesawatnya jatuh di gurun sahara—tokoh yang belajar ilmu hitung-hitungan, tak jadi meneruskan mimpi pelukis saat umur enam tahun karena orang dewasa tak memahami ular sanca-nya. Pangeran cilik sampai ke bumi melewati asteroid-asteroid yang dihuni orang-orang dewasa: raja, orang sombong, pemabuk, pengusaha, penyulut lentera, dan ahli bumi—mewakili semua orang dewasa berwatak ganjil.

 




Pangeran Cilik adalah buku yang worth it karena selain harga, bukunya juga menyajikan gambar-gambar cantik. Tulisan yang punya seni sendiri untuk pembaca dewasa maupun anak-anak membuat mereka sadar lebih dalam arti kehidupan. Aku memahami betapa stresnya menjadi orang dewasa. Merasa dikejar, betapa penampilan, merek, angka, menjadikan arti kebahagiaan sarat-sarat menjebak. Berbeda dengan anak kecil yang hanya dengan gambar, seperti domba di dalam peti sudah memiliki segalanya, mereka beruntung karena tahu arti “yang penting tidak tampak di mata”, sama halnya lagi pangeran cilik berbicara dengan rubah dan bunga, menemukan teman sebaya dan menjinakkannya (berteman), bisa membuatnya menangis jika kehilangan.

 

Sangat disayangkan bukunya kurang tebal. Sesuai dengan rating yang kulihat, buku ini selalu menyentil jidatku, mengangkat badanku ke masa kecil lagi: waktu tak terbatas untuk main-main, jadi versi terbaik, mengetahui jati diri, dan bahagia. Sayang penulisnya sudah berpuluh tahun menghilang, membuatku ngilu bahwa usia-nya yang dewasa pun masih dapat mengerti apa yang dirasakan anak-anak.

Selasa, 27 Juli 2021

Resensi Buku Batu Berdaun dan Puluhan Dongeng Nusantara oleh Winkanda Satria Putra dan Mentari Pujiana Yusuf

 Resensi Buku Batu Berdaun dan Puluhan Dongeng Nusantara

 --photo and review credited to @sherenal




“Anakku, apakah kamu sadar, selama ini kamu telah berjuang dan memperkuat akar? Aku tidak menyerah saat menanam benih dan merawat pohon bambu, begitu juga denganmu. Jangan membandingkan dirimu dengan yang lain. Bambu mempunyai fungsi yang berbeda dengan semak, tetapi mereka semua membuat hutan menjadi indah.”-hal.195


Judul: Batu Berdaun dan Puluhan Dongeng Nusantara

Nama penulis: Winkanda Satria Putra dan Mentari Pujiana Yusuf

Penerbit: Penerbit Andi

Tahun terbit: 2012

Cetakan ke: 1

Kategori: Buku Anak

Jumlah hal: 326 hal.

 

Wikanda Satria adalah penulis buku anak-anak, ia berkolaborasi dengan Mentari Pujiana Yusuf menulis Batu Berdaun dan Puluhan Dongeng Nusantara. Buku ini menggabungkan banyak dongeng dari seluruh nusantara. Aku masih berumur 13 tahun saat mempunyai buku ini pertama kali, walau belum begitu minat dengan fiksi, imajinasiku bisa terlatih dan menyukainya dengan cepat.  

 

Buku yang ditujukan meningkatkan literasi dongeng nusantara ini menggunakan bahasa yang mudah dipahami anak-anak, sangat to the point, jarang menggunakan percakapan, walau cenderung show dibanding tell. Membaca buku ini mengingatkanku pada seri legenda yang ditayangkan televisi pada tahun 2010-an ke atas, pula cerita wattpad yang tahun 2018-an sempat dilestarikan adaptasi “Timun Mas”. Ada beberapa cerita yang tidak asing dan pernah kudengar dari sekolah. Aku sedikit ngeri jika sampai konflik, mengetahui budaya di masa legenda itu 1000-an sangatlah mengerikan. Saking berkesannya untukku di usia 14 tahun, aku pernah melukis nenek, putri, istana, dan air mancur sesuai dongeng “Pengemis dan Putra Raja” (Melayu) – part 29.

 

Buku ini menceritakan 50 cerpen (dongeng) dari berbagai nusantara. Mulai dari sabang sampai Merauke. Ada fabel juga di dalamnya, hal-hal gaib atau fantasi juga terkait mengingat saat itu ilmu kesaktian sudah banyak digunakan untuk membela diri, melindungi rakyat, maupun memusuhi orang lain. Hal yang sering kutemukan ialah perihal kerajaan dan pernikahan. Buku ini juga mengenalkan asal-muasal suatu tempat. Belanda, Cina, bahkan wilayah lain termasuk mengingat ceritanya yang kompleks.  

 

Mulai dari sampul, buku ini cantik. Ceritanya juga variasi dari berbagai daerah, suku, budaya dan tempat-tempat terkait, hingga akhir konflik tentunya butuh riset yang bukan main. Terlebih jika ceritanya bukan cerita pasaran, seperti “Tepaisaka dan Kilipase” (Papua)—part 49. Walaupun dongeng adalah cerita yang mungkin dan tidak mungkin terjadi, budaya berkaitan tentu harus ekstra diteliti supaya ceritanya utuh. Tata cara kepenulisannya juga benar, bahasanya sangat mudah dimengerti untuk kategori anak-anak. Cerita ini punya alur yang proporsi pas, tokohnya kuat dan dalam kategori banyak karakter ini, mereka punya peran. Amanatnya banyak dan tersurat, mengingatkan kita hal-hal kecil yang bisa dicontoh sampai kapan pun berkaitan dengan budi pekerti.

 

Membaca ini di usia hampir 18 tahun membuatku sedikit muak karena tokoh, latar, dan amanat yang banyak terkesan harus kuingat. Imajinasiku juga tidak sehebat anak kecil, sehingga cerita yang tersirat dan to the point kurang mengenakkan dibaca. Selebihnya, buku ini tetap hebat dengan konflik, ide, dan materinya yang luas, sembari menambah ilmu kedaerahan.

 

Dilihat dari keterangan di atas buku ini sangat cocok untuk anak usia 8-14 tahun. Usia yang sudah bisa membaca dan imajinasinya cukup tinggi. Mungkin membacakan dongeng ini dari orang tua kepada anak di bawah usia delapan tahun juga disarankan karena cerita ini akan sangat menyenangkan untuk mereka dan menambah kecintaan terhadap Indonesia.