Pages

Rabu, 10 November 2021

Resensi Novel The Dog Who Dared to Dream oleh Hwang Sun-Mi

Resensi Novel The Dog Who Dared to Dream

photo and review credited to @sherenal_



 Judul: The Dog Who Dared to Dream

Nama penulis: Hwang Sun-Mi

Penerbit: Penerbit Baca

Tahun terbit: 2020

Cetakan ke: 1

Kategori: Novel

Jumlah halaman: 258 hal.

 

“Lupakan perkataan itu. Tidak perlu dipedulikan. Kamu ya kamu. Tidak ada yang berubah.”-hal. 57

 

Hwang Sun-Mi adalah penulis best seller dari Korea Selatan. Buku The Dog Who Dared to Dream adalah salah satu karyanya yang laris hingga diterbitkan dan diterjemahkan ke berbagai mancanegara, bahkan mendapatkan awards di London. Aku membeli buku ini secara online karena terpikat dengan cover maupun sinopsisnya—novel sudut pandang hewan pertamaku.

 

Buku bercover biru tua ini memiliki ilustrasi pada setiap pergantian partnya. Pemaparan cerita dari Hwang Sun-Mi mengisahkan secara runtut dan pada intinya. Penulis menyisipkan unsur Korea termasuk panggilan dan istilah, seperti pada hal. 205: makgeolli (alkohol tradisional Korsel dari fermentasi beras). Sesuai yang diduga, ini serupa fabel karena didasari sudut pandang hewan, termasuk perasaannya sebagai makhluk hidup.

 

Buku ini menceritakan seekor anjing bernama bulu panjang karena bulunya yang hitam sekaligus panjang hingga menutupi mata. Tak ada satu pun saudara maupun orang tuanya yang memiliki bulu seminoritas itu, sehingga orang tua termasuk saudaranya cenderung tidak mau berbagi makanan dengannya, dan bulu panjang harus mencari waktu yang tepat. Kemudian pada musim dingin, seorang pria penjual binatang mengadakan penawaran dan ditolak oleh majikannya (Tuan Pita Suara) sehingga terpaksa dicuri dengan menaruh racun pada daging santapan. Ketika semuanya pingsan, hanya bulu panjang yang sadar karena ia tidak memakannya sama sekali. Penculikan itu membuat anjing bulu panjang kesepian. Namun, takdir membuatnya bertemu dengan anjing jantan putih (pemimpin) dan cokelat (pemburu) yang kemudian menciptakan harapan baru.

 



“Luka membuat anak-anak belajar dan menjadi dewasa.”-hal. 197

 

The Dog Who Dared To Dream adalah novel ringan yang membuat hariku lebih tenang. Awalnya aku takut membuka sampul plastik karena covernya terlalu cantik dan khawatir kertasnya menguning, tetapi baru kubuka harus robek terlempar karena amarah adikku. Buku ini membuatku tahu bahwa hewan sungguhan punya perasaan, bisa merasakan sedih, senang, takut, bingung, seperti manusia. Tata cara penulisannya rapi, termasuk elipisis, dan terjemahan yang sekiranya mudah dimengerti. Ada bagian di mana aku menyicil dan semangat membuka halaman demi halaman ketika hal pilu dan kebahagiaan bulu panjang hadir bergantian. Tercekat, khususnya ketika ia harus kehilangan saudaranya bahkan anak-anaknya. Hewan lainnya juga dimunculkan untuk memperkaya cerita, seperti kucing tua dan kakak ipar (ayam betina). Entah terjemahannya atau subjektifku, cerita ini cukup jenaka, melankolis, dan menginspirasi—memberikan sudut pandang dari manusia yang kadang menghakimi dan menyayangi hewan. Novel ini juga tanpa sadar memberikan wawasanku terhadap budaya Korea Selatan yang dilakukan keluarga majikan bulu panjang. Kehangatan dan kehidupan sehari-hari rasanya nyata terjadi bukan sekadar cerita, sehingga menurutku akan lebih bagus dan tergambarkan jika buku bestseller ini difilmkan.


Meskipun begitu, terjemahan buku terlaris ini terlalu ringan dibaca karena aku cenderung menyukai buku berat dan makna tersirat, walau ternyata makna tersirat paling besar buku ini ada pada halaman terakhir. Judulnya sedikit menjebak untuk siratan “karir” yang kupikir. Panggilan untuk hewan juga kurang tepat, seperti “kakak ipar”, “kucing tua”, “si hitam”, tetapi cukup membuatku tertawa dan bisa dipahami. Jumlah anak dari ibu bulu panjang, termasuk anak bulu panjang sendiri yang banyak membuatku sulit menghafal bahkan me-reka ulang, tetapi kisah masing-masing mereka bermakna.

 

Novel ini sangat cocok untuk pencinta hewan, khususnya anjing. Buku ini juga ada serial lainnya dari penerbit Baca: The Hen Who Dreamed She Could Fly. Ketika membaca pesan pribadi penulis, aku menyadari bahwa judulnya mengartikan bulu panjang yang ingin terus menantikan hal-hal baik hingga akhir hayatnya. Bukan bermimpi untuk merubah dirinya sendiri, tetapi kehadiran anjing atau keluarganya, termasuk manusia dan hewan lain. Kehangatan di balik pagar rumah itu menjanjikan sesuatu yang tidak perlu diceritakan, tetapi dirasakan dan dikenang selamanya.

Selasa, 17 Agustus 2021

Resensi Buku The Book of Ikigai

 Review Buku The Book of Ikigai

 




Judul: The Book of Ikigai

Penulis: Ken Mogi, Ph. D

Penerbit: Noura Books, PT. Mizan

Cetakan ke: 3

Tahun terbit: 2019

Tebal buku: 191 hal.

Genre: Non fiksi—Inspirasi

 

“Ketika Anda masih muda, Anda tak bisa memulai hal dengan cara yang besar. Apa pun yang Anda lakukan, itu tak banyak artinya bagi dunia. Anda harus memulai dari hal yang kecil”-hal. 57

 

“Dengan membebaskan diri dari beban diri, kita dapat membuka diri terhadap semesta tak terbatas dari kesenangan-kesenangan indriawi.”-hal. 74

 

“Flow merupakan kondisi ketika orang-orang begitu larut dalam satu aktivitas sehingga rasanya tidak ada hal lain yang penting. Pekerjaan itu sendiri menjadi tujuan, alih-alih sesuatu yang mesti dijalani sebagai cara mencapai sesuatu.”-hal 78

 

“Flow adalah tentang menghargai keberadaan jiwa raga di tempat dan waktu sekarang. Seorang anak mengetahui nilai berada pada momen sekarang. Sebenarnya, seorang anak memiliki gagasan pasti tentang masa lalu atau masa depan. Kebahagiaannya, terletak pada waktu sekarang.”-hal. 82

 

“Begitu Anda memperhatikan detail-detail kecil dalam hidup, tidak ada yang terulang. Setiap peluang itu istimewa.”-ha. 91

 

“Anda dapat mengejar kualitas terbaik hanya jika Anda berada dalam kondisi mengalir.”-hal.94

 

“Buatlah musik, meski taka ada seorang pun yang mendengar. Lukislah sebuah gambar, meski taka da seorang pun yang melihat. Tuliskani sebuah cerita singkat yang tak akan dibaca orang. Kesenangan  batin dan kepuasan akan lebih dari cukup untuk menyemangati terus hidup Anda.”-hal.97

 

“Taka ada gunanya berusaha menyerupai orang lain, meskipun ada tekanan dari teman sebaya. Jadi santai saja, dan jadilah diri Anda sendiri.”-hal. 176

 

Ken Mogi adalah peneliti otak, penulis, dan penyair dari Jepang, yang sudah menerbitkan lebih dari 100 buku. Aku sempat melihat salah satu konten edukasi yang mereview buku ini mengenai ikigai dan keterkaitannya. Hipotesis sebelumnya menurutku adalah bagaimana seseorang seharusnya hidup, sesuai dengan kepribadiannya, tetapi tidak melulu begitu.

 

Ada catatan awal untuk pembaca sebagai pembuka, 10 bab pembahasan menginspirasi, dan kesimpulan yang semakin menyakinkan pembacanya tentang apa yang sudah diperoleh, menemukan ikigainya. Ada pembatas indah yang berisi kutipan motivasi terpenting setiap babnya. Ken Mogi mengutarakan ceritanya dengan rinci, kemudian memusatkan intinya Kembali. Ia bahkan mengulas ulang baba tau topik sebelumnya, sehingga lima pilar ikigainya bisa tertanam di otak pembaca.

 

Buku ini berisi tentang ikigai (alasan hidup) dengan lima pilar: awali hari dengan hal kecil, bebaskan dirimu, keselarasan dan kesinambungan, kegembiraan dari hal-hal kecil, dan hadir di tempat sekarang. Diawali 1) Jiro Ono dengan restoran sushi terlezat walau sekali makan memang habis terlupakan, 2) Bangun pagi dengan kegembiraan kecil: senam atau minum teh, 3) Kodawari (standar personal yang memberikan khas): muskmelon 200$ dan mangkok yohen tenmoku, 4) Keindahan indriawi: meditasi buddha membebaskan diri, 5) Kreativitas: master anime Miyazaki dan pengolahan wiski, 6) Kelestarian: Kuil Ise dan Kuil Meiji nan ketenangan di dalamnya, 7)Makna Hidup: sumo dengan kekalahan beruntun dengan puncak sekitori, 8) Kebangkitan Jepang setelah perang dan bencana alam, 9) Datsusara dan comiket pameran cosplay, dan 10) Dua Manusia sama sekali beda.

 

Membaca buku ini sembari mendengarkan lofi bisa jadi ikigai sendiri untukku. Menenangkan dan membahagiakan. Walaupun sub poinnya banyak, begitupula dengan cerita nyata menginspirasinya, pembawaan Ken Mogi sama sekali tidak buru-buru, bukunya cantik dengan judul nan blurb sesuai, menambah ilmu segala aspek terutama budaya Jepang maupun banyak negara barat yang disebutkan mengetahui Ken Mogi sudah berkeliling dunia. Dengan harga menengah, buku ini membawa banyak filosofi hidup, sehingga sekali tahu kata “ikigai” aku sedikit tercenung.

 

Yang paling membuatku tertampar adalah penegasan waktu sekarang. Menikmati makanan enak juga termasuk ke dalamnya. Aku juga kaget dengan Jepang yang memiliki 8 Juta Dewa: bahkan bisa mengkolaborasikan agama Kristen, Budha, dan Shinto (agama Jepang) dalam satu individu. Ada lagi untuk menjadi biksu bukanlah hal menyedihkan, tetapi melegakan karena terbebas dari duniawi yang penuh persaingan terlebih hidupnya sehat, Ikigai sesungguhnya adalah ketika suka, kau akan melakukannya tanpa mengeluh bahkan tetap bahagia. Ikigai membuat seseorang tetap berdiri dengan senyum mantap tanpa pengakuan sosial, uang, pencapaian, sebab proses itu dilakukan senang hati.

 

Aku jadi punya pendapat rumor tentang bunuh diri di Jepang disebabkan orangnya tidak memiliki ikigai. Ikigai yang membebaskan berekspresi jadi apa pun, mengambil kesempatan di masa sekarang, sehingga tak ada penyesalan satu pun. Coba lihat banyak spektrum warna dunia nyata yang tak bisa dilukiskan. Ada hal-hal kecil yang bisa membuat kita tersenyum. Bahkan ada seseorang mengatakan bahwa hidup itu sia-sia, jadi carilah kesenangan. Bahkan warga Jepang memilih kerja daripada pensiun karena ikigai yang tertanam membuat seseorang ingin terus melanjutkan hidupnya.  Kemudian, untuk menjadi versi terbaik, tidak perlu menjadi diri orang lain karena menjadi diri sendiri yang punya otentik tak bisa disamakan akan jadi superpower tersendiri.

 

Buku ini bagus untuk orang yang selalu merasa dikejar dengan ekspetasi dunia. Ikigai menyediakan segala hal sehingga kehancuran pun tak berarti sehingga tetap bisa menjalankan hidup. Kekompleksan buku ikigai ini sulit dideskripsikan. Ketoleranan akan hal aneh (yang sebenarnya istimewa), kebahagiaan anak kecil, alasan menyenangkan tetap bisa membuat hari dan dunia ini punya arti berbeda.

 

 

Rabu, 04 Agustus 2021

Resensi Novel Le Petit Prince (Pangeran Cilik)

 Resensi Novel Le Petit Prince (Pangeran Cilik)


 



Judul: Le Petit Prince (Pangeran Cilik)

Nama penulis: Antoine De Saint Exupery

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: 2021

Cetakan ke: 19

Kategori: Novel, Buku Anak

Jumlah halaman:120 hal.


“Mengadili diri sendiri lebih sulit daripada mengadili orang lain. Jika kamu berhasil, berarti kamu betul-betul orang yang bijaksana.”—hal. 47

 

“Bahasa adalah sumber kesalahpahaman.”—hal.85

 

“Inilah rahasiaku. Sangat sederhana: hanya lewat hati kita melihat dengan baik. Yang terpenting tidak tampak di mata.”—hal. 88

 

Antoine De Saint-Exupery adalah penulis berbagai buku, salah satunya Pangeran Cilik yang membuat Namanya semakin besar. Ia adalah penulis sekaligus penerbang pesawat tahun 1900-an. Buku ini sendiri sudah diterjemahkan di berbagai bahasa.

 

Novel ini diselingi banyak gambar di antara kalimatnya yang tersirat. Buku ini mengingatkan orang-orang dewasa bahwa kita pernah kecil, agak sayang bahwa orang dewasa sulit memahami anak kecil begitupula sebaliknya. Orang dewasa lebih suka hitung-hitungan, ia selalu mengejar status sosial, di mana anak-anak tidak memerlukan hal itu. Hal kecil bisa membahagiakan untuknya.

 

Buku ini menyampaikan cerita dengan judul part angka romawi. Menceritakan perjalanan Pangeran Cilik yang berkelana dari asteroid miliknya: punya satu bunga angkuh, tiga gunung, dan pohon-pohon baobab menganggu. Ia bertemu dengan tokoh “aku” yang pesawatnya jatuh di gurun sahara—tokoh yang belajar ilmu hitung-hitungan, tak jadi meneruskan mimpi pelukis saat umur enam tahun karena orang dewasa tak memahami ular sanca-nya. Pangeran cilik sampai ke bumi melewati asteroid-asteroid yang dihuni orang-orang dewasa: raja, orang sombong, pemabuk, pengusaha, penyulut lentera, dan ahli bumi—mewakili semua orang dewasa berwatak ganjil.

 




Pangeran Cilik adalah buku yang worth it karena selain harga, bukunya juga menyajikan gambar-gambar cantik. Tulisan yang punya seni sendiri untuk pembaca dewasa maupun anak-anak membuat mereka sadar lebih dalam arti kehidupan. Aku memahami betapa stresnya menjadi orang dewasa. Merasa dikejar, betapa penampilan, merek, angka, menjadikan arti kebahagiaan sarat-sarat menjebak. Berbeda dengan anak kecil yang hanya dengan gambar, seperti domba di dalam peti sudah memiliki segalanya, mereka beruntung karena tahu arti “yang penting tidak tampak di mata”, sama halnya lagi pangeran cilik berbicara dengan rubah dan bunga, menemukan teman sebaya dan menjinakkannya (berteman), bisa membuatnya menangis jika kehilangan.

 

Sangat disayangkan bukunya kurang tebal. Sesuai dengan rating yang kulihat, buku ini selalu menyentil jidatku, mengangkat badanku ke masa kecil lagi: waktu tak terbatas untuk main-main, jadi versi terbaik, mengetahui jati diri, dan bahagia. Sayang penulisnya sudah berpuluh tahun menghilang, membuatku ngilu bahwa usia-nya yang dewasa pun masih dapat mengerti apa yang dirasakan anak-anak.

Selasa, 27 Juli 2021

Resensi Buku Batu Berdaun dan Puluhan Dongeng Nusantara oleh Winkanda Satria Putra dan Mentari Pujiana Yusuf

 Resensi Buku Batu Berdaun dan Puluhan Dongeng Nusantara

 --photo and review credited to @sherenal




“Anakku, apakah kamu sadar, selama ini kamu telah berjuang dan memperkuat akar? Aku tidak menyerah saat menanam benih dan merawat pohon bambu, begitu juga denganmu. Jangan membandingkan dirimu dengan yang lain. Bambu mempunyai fungsi yang berbeda dengan semak, tetapi mereka semua membuat hutan menjadi indah.”-hal.195


Judul: Batu Berdaun dan Puluhan Dongeng Nusantara

Nama penulis: Winkanda Satria Putra dan Mentari Pujiana Yusuf

Penerbit: Penerbit Andi

Tahun terbit: 2012

Cetakan ke: 1

Kategori: Buku Anak

Jumlah hal: 326 hal.

 

Wikanda Satria adalah penulis buku anak-anak, ia berkolaborasi dengan Mentari Pujiana Yusuf menulis Batu Berdaun dan Puluhan Dongeng Nusantara. Buku ini menggabungkan banyak dongeng dari seluruh nusantara. Aku masih berumur 13 tahun saat mempunyai buku ini pertama kali, walau belum begitu minat dengan fiksi, imajinasiku bisa terlatih dan menyukainya dengan cepat.  

 

Buku yang ditujukan meningkatkan literasi dongeng nusantara ini menggunakan bahasa yang mudah dipahami anak-anak, sangat to the point, jarang menggunakan percakapan, walau cenderung show dibanding tell. Membaca buku ini mengingatkanku pada seri legenda yang ditayangkan televisi pada tahun 2010-an ke atas, pula cerita wattpad yang tahun 2018-an sempat dilestarikan adaptasi “Timun Mas”. Ada beberapa cerita yang tidak asing dan pernah kudengar dari sekolah. Aku sedikit ngeri jika sampai konflik, mengetahui budaya di masa legenda itu 1000-an sangatlah mengerikan. Saking berkesannya untukku di usia 14 tahun, aku pernah melukis nenek, putri, istana, dan air mancur sesuai dongeng “Pengemis dan Putra Raja” (Melayu) – part 29.

 

Buku ini menceritakan 50 cerpen (dongeng) dari berbagai nusantara. Mulai dari sabang sampai Merauke. Ada fabel juga di dalamnya, hal-hal gaib atau fantasi juga terkait mengingat saat itu ilmu kesaktian sudah banyak digunakan untuk membela diri, melindungi rakyat, maupun memusuhi orang lain. Hal yang sering kutemukan ialah perihal kerajaan dan pernikahan. Buku ini juga mengenalkan asal-muasal suatu tempat. Belanda, Cina, bahkan wilayah lain termasuk mengingat ceritanya yang kompleks.  

 

Mulai dari sampul, buku ini cantik. Ceritanya juga variasi dari berbagai daerah, suku, budaya dan tempat-tempat terkait, hingga akhir konflik tentunya butuh riset yang bukan main. Terlebih jika ceritanya bukan cerita pasaran, seperti “Tepaisaka dan Kilipase” (Papua)—part 49. Walaupun dongeng adalah cerita yang mungkin dan tidak mungkin terjadi, budaya berkaitan tentu harus ekstra diteliti supaya ceritanya utuh. Tata cara kepenulisannya juga benar, bahasanya sangat mudah dimengerti untuk kategori anak-anak. Cerita ini punya alur yang proporsi pas, tokohnya kuat dan dalam kategori banyak karakter ini, mereka punya peran. Amanatnya banyak dan tersurat, mengingatkan kita hal-hal kecil yang bisa dicontoh sampai kapan pun berkaitan dengan budi pekerti.

 

Membaca ini di usia hampir 18 tahun membuatku sedikit muak karena tokoh, latar, dan amanat yang banyak terkesan harus kuingat. Imajinasiku juga tidak sehebat anak kecil, sehingga cerita yang tersirat dan to the point kurang mengenakkan dibaca. Selebihnya, buku ini tetap hebat dengan konflik, ide, dan materinya yang luas, sembari menambah ilmu kedaerahan.

 

Dilihat dari keterangan di atas buku ini sangat cocok untuk anak usia 8-14 tahun. Usia yang sudah bisa membaca dan imajinasinya cukup tinggi. Mungkin membacakan dongeng ini dari orang tua kepada anak di bawah usia delapan tahun juga disarankan karena cerita ini akan sangat menyenangkan untuk mereka dan menambah kecintaan terhadap Indonesia.

 

 

Senin, 19 Juli 2021

Resensi Buku The Art and Science of Personal Magnetism oleh Theron Q. Dumont

 Resensi Buku The Art and Science of Personal Magnetism

 


--photo and review credited to @sherenal


Judul: The Art and Science of Personal Magnetism

Penulis: Theron Q. Dumont

Penerbit: Bright Publisher

Cetakan ke: 1

Tahun terbit: 2020

Tebal buku: 144 hal

Kategori/Genre: Nonfiction, Self-Improvement

 

 “Perilaku yang cenderung membuat seseorang menjadi kuat merupakan perilaku mental positif, sementara yang cenderung membuat seseorang menjadi lemah merupakan perilaku mental negatif.”-hal. 74

 

Buku ini merupakan series self improvement yang diterbitkan oleh Bright Publisher. Seriesnya rata-rata menceritakan tentang mental, salah satunya buku ini. Buku ini sudah diterjemahkan di ratusan Bahasa, bahkan penulisnya: Theren Q. Dumont sudah membantu banyak orang dalam pekerjaan dan kehidupannya yang cenderung bermasalah.

 

Cara penyampaian buku ini menggunakan sudut pandang orang pertama, pembaca juga diajak berbicara lewat buku ini. Setiap babnya punya pembedaan khusus yang dituntun ke topik utama, kemudian penyelesaian masalah, diakhiri dengan peyakinan tentang topik yang dibahas. Esai yang dibuat Theren Q. Dumon ini didukung dengan berbagai ilmu scientific dan pengalaman yang mengonkretkan bacaan di dalamnya. Buku ini seperti merangkum semua hal yang sudah diriset dengan harga murah, tetapi manfaatnya mahal.

 

The Art and Science of Personal Magnetism adalah buku yang membicarakan tentang seni dan ilmu magnetisme dari orang lain ke diri kita, begitupula sebaliknya. Buku ini membahas keterkaitan listrik, saraf, dan otak, yang  bisa mempengaruhi orang lain. Daya Tarik fisik dan mental adalah kolaborasi yang dibutuhkan, sehingga bisa menghasilkan aura yang kuat dan membuat orang lain mau dipengaruhi dengan mudah jika kita mempraktekkan terus-menerus di cermin dan menginginkannya. Ada pelatihan saraf, bahkan seperti perengangan yang jadi hal sepele. Menenangkan diri bisa jadi backup untuk bisa mengattack balik seseorang. Banyak kata kuncinya di sini.  

 

Aku tidak mengerti, kenapa buku rumit yang sukar dipahami dan cenderung diberikan rating rendah (karena terjemahannya mempusingkan) bisa membuatku menyukainya. Topik-topik berat, kemudian disusul kalimat keseharian membuat buku ini nyaman dibaca. Cover buku di series ini sangat bagus, bahkan harga yang affordable sangat memungkinkan kita memiliki semua serinya. Buku ini bisa jadi terapi untuk orang yang punya masalah dengan sosialnya. Ada contoh-contoh konkret kehidupan di Paris, tentang orang yang ditendang, diperlakukan semena-mena, pula contoh pebisnis dan orang-orang berpengaruh yang bisa menjadi orang disegani. Buku ini seperti buku rahasia yang memberikan kita ilmu yang kita tidak sadari. Selayaknya: bukankah penciptaan saraf kalua diteliti akan jadi hal kompleks dan hebat? Banyak penyadaran lainnya untukku, seperti untuk mengategorikan hal positif dan negative, dan hanya melakukan yang positif, kemudian jika kita tidak bisa memberikan pengaruh daya Tarik kuat, kita bisa menyangkal bila tak bisa mempengaruhi. Semua juga sesederhana jika kita melawan balik kalimat atau Tindakan buruk yang selama ini kita lakukan.

 

Aku hanya menyayangkan kutipan professor atau riset yang terlalu sukar dibaca sehingga kepala jadi makin pusing. Namun, bisa diatasi dengan melewatkannya ke kalimat berikutnya. Kemudian, fakta bahwa ada hal yang tidak bisa kita lawan dalam kehidupan sehari-hari: orang berbadan besar, punya senjata, daya Tarik dan mental ini akan mudah ciut dan tidak bisa dipraktekkan, kecuali hanya menyangkal. Walaupun ini worth it, walaupun tidak semua peduli betapa kerasnya mencoba, hal ini akan punya keberhasilan tinggi if we believe. Pikiran bisa jadi rem penghalangan terbesar.

 

Untuk orang yang punya mental ciut, bisa banget baca buku ini. Jangan merasa rendah terus, anggap dirimu lebih tinggi, anggap dirimu putri raja. Sikap kita bergantung dengan apa yang kita pikirkan. 

Selasa, 29 Juni 2021

Resensi Novel Intelegensi Embun Pagi oleh Dee Lestari

 Resensi Novel Intelegensi Embun Pagi



--photo and  review credited to @sherenal 


Judul: Intelegensi Embun Pagi

Nama penulis: Dee Lestari

Penerbit: Bentang Pustaka

Tahun terbit: 2016

Cetakan ke: 2

Tebal buku: 710 hal.

 

“Kita itu bergerak seperti satu tubuh, Le. Kalau ada di antara kita yang keminter, bikin rencana sendiri, semua kena getahnya.”-ha 416

“Kamu mungkin ndak percaya dengan ucapanku sekarang. Tapi semua yang terjadi dalam hidupmu adalah yang terbaik.”-hal 526

 

Penulis fenomenal yang membuat karya Filosofi Karya dan Perahu kertas ini memiliki nama asli Dewi Lestari. Banyak karyanya yang telah diladaptasi dalam karya lebar. Intelegensi Embun Pagi sendiri termasuk lanjutan bahkan seri terakhir setelah KBPJ, Akar, Petir, Partikel, dan Gelombang. Semua kisah itu menjadi satu bahasan utuh dalam Intelegensi Embun Pagi.

 

Aku sudah pernah membaca ini saat usiaku 14 tahun, kelas 9 SMP. Kemudian aku membaca ini untuk kedua kalinya. Saat itu aku membaca bisa dalam waktu 9 jam, tidak bisa dipungkiri cara penulisan Dee Lestari yang punya ciri khas sendiri. Banyak istilah dan riset tersirat dalam novel ini. Kosakatanya beragam. Tokoh yang superbanyak dalam novel ini bisa punya karakter kuatnya sendiri, mulai dari cara bicara, pola pikir, perasaan mereka, menjadikan supernova ini betulan terjadi. Menulis buku berbobot dan tebal, seperti ini bukanlah hal mudah.

 

Singkatnya, ini tentang Peretas, Infiltran, dan Sarvara. Peretas dan Infiltran berada di satu kubu. Sedangkan Sarvara kerap dianggap anjing penjaga yang mengurung Peretas. Baik buruknya tergantung dilihat dari kubu mana. Setiap peretas dibentuk seamnesia mungkin kemudian ingatan mereka akan menuntun menemukan jawaban. Mereka harus minum Ayahuasca dulu untuk mengingat kisi pemicu ingatan mereka pula untuk masuk Asko (di mana setiap Peretas ini harus menjaga kandi mereka di Asko dan harus bergerak bersama, tak boleh ada satu pun berkhianat agar berhasil). Diawali dengan Gio (Kabut) yang ke Indonesia untuk menilik kasus Bintang Jatuh (peretas gugus sebelumnya yang timnya hancur), kemudian Bodhi (Akar) dan Elektra (Petir) yang sama-sama ingin menemukan jalan untuk mempergunakan kekuatan mereka, tetapi justru terpergok oleh Sati (Sarvara), kemudian ada Alfa (Gelombang) yang bersebelahan dengan Kell (Infiltran) hingga mengetahui siapa dirinya, lalu Zarah yang terus mencari keberadaan ayahnya Firaz yang hilang di Bukit Jambul, meninggalkan jurnal peretasnya dari gugus sebelumnya yang gagal. Perjalanan mereka yang mulai bisa mengingat kemudian diburu Sarvara untuk menghancurkan kandi mereka, diiringi Infiltran dengan 1001 perkiraan dan kemungkinan supaya Peretas bisa bergerak sesuai alur.

 

Aku sangat suka dengan cover bukunya yang ajaib punya efek seperti kaset (pelangi). Buku setebal ini juga kuat sekali, tidak ada lembar satupun yang lepas mengingat usianya sudah 4 tahun kubuka. Seperti yang kubilang sebelumnya, tokohnya kuat dan penuh riset. Bisa juga termasuk multiple genre. Setiap peretas selalu punya kisah yang rumit dan Dee Lestari menjadikannya runtut. Contohnya memunculkan tokoh, seperti Toni, Reuben, Dimas, teman  seperkomplotan Elektra, dan masih banyak lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-satu, tetapi peran mereka tetap ada. Dialog-nya juga memungkinkanku untuk bisa memahami dan melanjutkan halaman demi halaman. Rasa gregetan, gantung, dan takut pula kurasakan sehingga penasaran. Ada perpaduan berbagai Bahasa di sini, seperti Mandarin, Perancis, dan Inggris. Novel ini juga membuktikan selalu ada kesempatan untuk berhasil bahkan walaupun mustahil dan terkadang, drama dan masa lalu bisa jadi penghalang, konsep memaafkan dan menerima.

 

Aku sempat amnesia novel ini bercerita tentang apa. Sebab, alurnya yang bolak-balik ke setiap individu dengan tiap masalah dan keterkaitannya memungkinkan pembacanya lupa apa yang terjadi belum lagi istilah-istilah yang harus dicerna baik supaya paham. Yang jadi pertanyaanku adalah, siapa dalang di balik mereka yang kejar-kejaran.

 

Novel fantasi ini cukup worth it dibaca karena memang beda dari yang lain. Terlebih lagi yang punya pemikiran kritis, berat, atau butuh ide memparafrase paragraf supaya berisi, karya ini mungkin bisa jadi referensi sekaligus bahan belajar yang mengisi waktu luang dengan kekompleksan ceritanya. Bisa jadi novel ini ada turunannya, but well siklusnya sama dengan tiga tokoh utama epic ini (Peretas, Infiltran, dan Sarvara).

 

 

 

 

 

Selasa, 08 Juni 2021

Resensi Novel Someday karya Winna Efendi

 


--photo n review credited to @sherenal


Judul: Someday

Pengarang: Winna Efendi

Penerbit: Gagasmedia

Cetakan ke: 1

Tahun terbit: 2017

Tebal buku: 400 hal.

Genre: Fiksi remaja

 


“Kita akan memiliki versi-versi diri yang berbeda saat bersama orang-orang yang berbeda pula. Tapi, hanya dengan orang yang tepatlah kita akan menjadi versi yang terbaik dari diri kita sendiri.”-hal 355

 

Karya Winna Efendi sudah banyak yang diterbitkan, dan aku jatuh cinta dengan setiap karyanya. Dari Happily Ever After, kemudian Someday (yang ada sedikit hubungannya dengan kisah Happily Ever After). Membaca buku Someday untuk kedua kalinya membuatku menemukan hal-hal yang belum tercerna baik, dan menyadari alasan mengapa aku bisa memfavoritkan novel ini di antara novel lainnya. Ceritanya serupa dongeng yang nyata, mengalir, dan selalu punya amanat baik kepada pembacanya.

 

Dalam novel Someday menggunakan sudut pandang orang pertama. Setiap partnya pasti ada istilah dan arti dalam Bahasa Inggris. Alur ceritanya maju dan sama sekali tidak buru-buru. Winna Efendi melakukan “show” not “tell” dengan sangat baik sehingga tokoh dan kisah di dalamnya jelas seperti nyata terjadi. Halaman yang menyentuh 400 ini tidak berat dan tidak ringan, sehingga cukup menyenangkan dibaca mengetahui kasus ceritanya yang pelik.

 

Walaupun ini novel remaja, aku tidak merasa seperti novel wattpad yang terlampau bucin, tetapi justru berisi. Terkadang gemas dengan tokoh Art yang egois nan toxic dan nelangsa sendiri terhadap apa yang dirasakan Chris. Bukannya menghakimi, aku seperti merasa yang dialami Chris sangat berat, saat tak ada satupun orang yang bisa menyelamatkannya dari kehampaan, kegelapan.

 

Ini adalah kisah Chris yang suka berenang. Ia mempunyai sahabat bernama Milo (satu klub) yang sudah bersamanya sejak kecil. Chris yang tomboi dan selalu kena remedial, sedangkan Milo yang popular, pintar, dan tak mudah menyerah. Satu detik bagi Milo bisa membuatnya menang. Kemudian Art datang, hanya ingin melihat pertandingan Rita di SMA Harapan—justru fokus dengan Chris. Puisi Sapardi Djoko Damono, toko barang antik, hadiah, dan mimpi masa depan membuat Chris yang tak percaya dengan cinta mulai berdebar jika bersama Art. Di lain sisi, Milo berpacaran dengan Mel. Keluarga Chris yang berantakan, adiknya yang punya masalah perkembangan, dan Chris yang kena korban fisik Art, menjauhkannya dari dirinya yang dulu. Suka menangis, membohongi banyak orang bahwa dia baik-baik saja, tidak punya tempat untuk bercerita, menjadikan mimpinya tak lagi ada. Ia sendiri takut melihat dirinya sendiri.

 

“Hanya karena seseorang telah melukaimu, bukan berarti kamu juga harus melukai dirimu sendiri”-hal 355


Dalam novel ini, aku bisa merasakan diri Chris, perasaanya, hal di sekitarnya, yang membuatku sama sesaknya. Kejadian ia yang hanya melihati kolam renang dan melihat teman-temannya yang dulu dia ada di sana, membuatku ngilu. Hobi klub renang yang makan pizza di Sixties, kemudian membeli barang lebih dari 400.000 serupa mengeluarkan uang tanpa pikir panjang membuatku merasakan kehidupan aesthetic orang kaya yang menjadikan novel ini mirip kisah/film di luar negeri. Kegiatan menyenangkan dan jati diri Chris mengingatkanku untuk punya hal serupa layaknya hari produktif. Amanatnya banyak sekali. Cover buku yang mencerminkan isinya, dan isinya yang berkualitas membuat novel ini sempurna.

 

Hanya kutemukan typo satu huruf, kemudian aku menyayangkan bagian awal cerita ini yang sedikit membosankan karena mungkin awalan penjelasnya panjang, tetapi membantu menerangkan/memperjelas ketika sampai di konflik atau pertengahan.

 

Di lain itu, novel ini bagus untuk dibaca semua kalangan umur. Novel ini juga bagus karena menyinggung mental illness, perasaan kacau—kecemasan, yang menuntun pembaca sama-sama menemukan solusi.